Pasar produk farmasi Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya dukungan pemerintah terhadap sektor kesehatan. Peningkatan paling besar terutama terjadi pada produk obat-obatan generik bermerek yang banyak digunakan di rumah sakit. Digambarkan melalui revenue, obat-obatan generik bermerek bisa meraup untung hingga USD 5 miliar pada 2020.
Peluang pengembangan industri farmasi dan kesehatan Indnonesia juga dapat dilihat dari segi dukungan pemerintah terhadap penyediaan jasa kesehatan. Pengeluaran pemerintah terhadap layanan kesehatan akan terus meningkat seiring dengan implementasi JKN program (Jaminan Kesehatan Nasional). Pada 2015, dukungan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan hanya USD 10,30 miliar dan diprediksi meningkat pada 2020 menjadi USD 16,30 miliar. Pada Januari 2017, jumlah peserta JKN telah mencapai 172,6 juta penduduk. Dengan meningkatnya peserta JKN dan penerimaan pasien JKN di rumah sakit swasta, maka permintaan obat generic akan meningkat.
Selain meningkatnya dukungan pemerintah, pasar industri farmasi dan kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor tumbuhnya golongan ekonomi menengah, dan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Masyarakat golongan menengan ini memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai obat-obatam generic yang bermerek dari pada obat-obatan yang tidak bermerek dan harga lebih murah. Kondisi ini menciptakan peluang baru bagi produsen dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas produksi obat generiknya.
Indonesia juga unggul dalam penjualan obat-obatan bebas (OTC-over counter medicine). Penjualan obat bebas paling besar di Asia Tenggara dimiliki oleh Indonesia, dimana 40% penjualan berasal dari Indonesia. Hal ini menunjukkan kecenderungan konsumen domestik yang lebih mempercayai obat-obatan dalam negeri.
Di samping prediksi pasar industri farmasi yang akan terus meningkat untuk setidaknya sampai tahun 2020 ini, industri farmasi Indonesia masih menghadapi kendala bahan baku. Saat ini kebutuhan bahan baku industri farmasi Indonesia masih harus di impor, terutama bergantung pada China mencapai 60% dari total impor. Kebutuhan bahan baku farmasi yang diimpor sendiri mencapai 95%. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan sulit untuk industri bahan baku Indonesia meningkatkan daya saing dan nilai tambah produknya. Hal ini karena industri akan sangat bergantung dengan kondisi pasar baku global, harga pun menjadi sulit untuk sulit dikontrol.
Selain menjadi prioritas karena adanya tren permintaan yang terus meningkat di pasar domestik, industri farmasi juga menjadi prioritas untuk segera dikembangkan rantai pasok domestiknya. Industri substitusi impor yang memanfaatkan kearifan lokal Indonesia akan sangat dimungkinkan, seperti contohnya industri farmasi berbasis herbal. Oleh karena itu, dukungan pemerintah dan peneliti atas prioritas pengembangan industri farmasi dalam negeri ini sangatlah diperlukan.