Perkembangan industri 4.0 berakibat pada perubahan model bisnis dan juga pekerjaan yang dibutuhkan. Perubahan pekerjaan merupakan keniscayaan dari penelitian dan teknologi di dunia. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mendapatkan dampak negatif oleh perubahan tersebut, karena sumber daya manusia Indonesia belum dipersiapkan menghadapi perubahan. Hal tersebut terlihat dari tingkat pendidikan pekerja di Indonesia yang masih rendah.
Menurut data BPS pada tabel di atas, terlihat bahwa mayoritas pekerja di Indonesia didominasi oleh lulusan SD, SLTA, dan SLTP. Sedangkan lulusan universitas masih sedikit dibandingkan dengan lulusan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan pilihan pekerjaan pun terbatas bagi angkatan kerja Indonesia, yaitu pekerjaan yang bersifat repetitive tanpa tuntutan keahlian. Kualifikasi pekerjaan yang semakin tinggi karena perkembangan teknologi pun berakibat pengangguran bagi tenaga kerja yang tidak mampu beradaptasi atau tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi.
Pekerjaan Angkatan kerja Indonesia pun didominasi oleh buruh, karyawan, atau pegawai baik di industri manufaktur dan jasa sebanyak 40%. BPS juga mendata status pekerjaan lain yang cukup tinggi adalah berusaha sendiri tanpa pegawai sebanyak 19%. Serta status pekerjaan berusaha dibantu oleh buruh tidak dibayar atau buruh tidak tetap sebanyak 16%. Hal ini menunjukkan bahwa kalaupun berusaha sendiri, pekerjanya bisa jadi adalah anggota keluarga sendiri. Jadi apabila mengembangkan wirausaha, penyerapan tenaga kerjanya masih sangat rendah, karena usaha sendiri yang dilakukan biasanya berskala kecil sehingga mampu dikerjakan sendiri atau dibantu anggota keluarga saja.
Posisi dan Peluang Unskilled Labour
Disrupsi pun terjadi dalam industri manufaktur, dimana automasi mampu meningkatkan efisiensi produksi sehingga tenaga kerja yang biasanya mengerjakan pekerjaan repetitive mampu digantikan oleh mesin. Disrupsi seperti itu memunculkan kekhawatiran yang sangat besar dari berbagai pihak, terutama kelompok buruh dan karyawan. Realitas tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja tidak terampil tidak dapat dinafikkan dan perlu dicari peluang untuk melakukan reskilling dan upskilling. Minimal terkait pekerjaan jenis apa yang dapat mereka lakukan dengan perubahan model kerja akibat disrupsi.
Saat ini terlihat bagaimana fenomena bagaimana unskilled labour di Indonesia dengan adanya berbagai start-up berbasis on-demand application. Walaupun kekhawatiran pekerja digantikan oleh mesin, muncul peluang pekerjaan baru bagi pekerja unskill. Contohnya adalah fenomena penyerapan pekerja oleh Go-jek melalui aplikasi ride-sharing dan semakin memperluas peluang usaha makanan dan minuman skala kecil dan menengah melalui go-food.
Berdasarkan BPS, di kota-kota besar terdapat pengurangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), pada kuartal III/2016 sebanyak 530.000 atau 5,02% menjadi 7,03 juta orang TPT. Selanjutnya pada Agustus 2018 pun angka TPT menurun kembali mejadi 7 juta orang. Jadi walaupun terdapat perubahan, untuk saat ini unskill labour Indonesia masih mampu bertahan, namun bagaimana dengan masa yang akan datang?
Investasi Tetap Membutuhkan Pekerja Terampil
Kegiatan ekonomi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja membutuhkan investasi karena padat modal, baik dalam bentuk industri manufaktur maupun industri digital yang sedang marak saat ini. Pengembangan industri tersebut membutuhkan pekerja dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang. Unskill labour di Indonesia yang sudah terlanjur ada akan kesulitan apabila dipaksa untuk mengikuti permintaan keterampilan oleh industri karena kesenjangan keterampilan terlalu tinggi.
Selanjutnya Indonesia perlu mempersiapkan pekerja terampil untuk mengantisipasi perkembangan di masa depan. Misalnya dalam hal industri digital, angkatan kerja di Indonesia tidak bisa selamanya didominasi oleh driver atau UMKM makanan dan minuman saja. Dibutuhkan tenaga ahli di bidang teknologi informasi untuk mendukung industri digital di Indonesia. Saat ini saja Go-jek mulai mencari data scientis dari negara lainnya, seperti India.
Apabila stakeholder pendidikan dan ketenagakerjaan Indonesia tidak mengantisipasi hal tersebut, maka nantinya investasi yang masuk bukannya menarik banyak tenaga kerja dari Indonesia. Namun, lebih banyak dari luar karena kesenjangan keterampilan.