Indonesia dan Malaysia mendominasi pasar global dan menyumbang 84% produksi minyak sawit dunia. Pada tahun 2019, dunia memproduksi 73 juta ton kelapa sawit, dimana Indonesia menyumbang 58% yaitu 42,5 juta ton dan Malaysia memproduksi 19 juta ton, 27% dari pasokan dunia. Di Indonesia, peningkatan produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh pertambahan luas lahan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Total luas kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2018 adalah 14.326.350 hektar dan meningkat pada tahun 2019 menjadi seluas 14.456.611 hektar.
Industri kelapa sawit menjadi sektor yang berpeluang besar menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan petani sawit apabila dikelola dengan baik sesuai dengan tata cara budidaya yang baik dan benar. Salah satu upaya pelaksanaan praktik budidaya perkebunan kelapa sawit yang baik adalah dengan menerapkan Good Agricultural Practices (GAP). Hasil penelitian Fachrudin et al., (2021) menunjukkan, penerapan GAP dalam kegiatan pengelolaan kebun dan kegiatan panen tandan buah segar (TBS) mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani kelapa sawit. Selain itu, menurut Shofi et al. (2019), penerapan GAP dari segi produsen merupakan suatu konsep yang menjamin kesejahteraan petani, keluarga dan pekerjanya, sedangkan dari segi konsumen mendapatkan produk yang berkualitas dan bernilai gizi yang aman. Konsep GAP juga menjamin kelestarian lingkungan hidup, sehingga mampu mewujudkan industri sawit yang lestari dan berkelanjutan.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah mengatur pedoman budidaya kelapa sawit yang baik melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 131 Tahun 2013. Cakupan kegiatan budidaya yang dimaksud meliputi lahan, benih, pemeliharaan hingga proses panen. Pedoman ini ditujukan untuk seluruh petani sawit dan kelembagaannya dengan tujuan meningkatkan produksi, produktivitas, mutu produk, dan mendorong pengembangan tanaman kelapa sawit sebagai bahan baku industri.
Pada kenyataannya di lapangan, petani masih kesulitan untuk menerapkan GAP dalam pengelolaan perkebunan sawit terutama petani swadaya karena salah satu faktor penghambat yaitu kendala modal. Biaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan GAP diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan pembukaan lahan yang baru. Kondisi ini menjadi dilema untuk perkebunan rakyat terutama bagi petani swadaya.
Dalam upaya untuk mendorong petani menerapkan GAP, Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) menghibahkan Rp 30 juta kepada setiap petani dalam program replanting untuk memastikan petani menerapkan GAP. Hal ini ditujukan sebagai upaya meningkatkan produktivitas kebun rakyat. Dukungan dan pendampingan dari pemerintah dalam pelaksanaan GAP sangat diperlukan untuk mewujudkan kesejahteraan petani dan industri sawit yang berkelanjutan.