Data Climate Watch dari the World Resources Institute (2020) menunjukkan bahwa 18,4% sumber emisi GRK (Gas Rumah Kaca) bersumber dari sektor pertanian; kehutanan; dan penggunaan lahan, 2,2% diantaranya disebabkan oleh adanya proses deforestasi. Pengembangan industri kelapa sawit seringkali dinilai menjadi salah satu penyebab maraknya deforestasi sebagai akibat dari perluasan lahan perkebunan. Berbagai upaya kebijakan diterapkan untuk mencegah pembukaan lahan sawit baru, diantara melalui inpres moratorium sawit yang berakhir 19 September 2021 lalu dan masih belum terdapat kejelasan perpanjangannya.
Disamping upaya kebijakan, pemberlakuan sertifikasi dan proses produksi yang bertanggung jawab juga digalakkan oleh berbagai lembaga dan komunitas untuk memastikan usaha perkebunan sawit yang berkelanjutan. Salah satu bentuk praktik usaha perkebunan sawit yang bertanggung jawab adalah dengan menerapkan Best Management Practice (BMP). BMP menjadi salah satu indikator yang wajib dipenuhi untuk bisa memperoleh sertifikasi ISPO/RSPO.
BMP merupakan tindakan agronomis untuk menemukan teknik terefektif dan biaya terendah agar produktivitas maksimal serta dapat menekan dampak terhadap lingkungan dengan memakai asupan dan sumber daya produksi secara efisien. Penelitian yang dilakukan Murtilaksono et al (2009), menghasilkan temuan bahwa produktivitas blok perlakuan BMP lebih tinggi dibandingkan blok kontrol. Program BMP yang dilakukan oleh Perkumpulan Elang di Kabupaten Siak telah membuktikan adanya peningkatan produksi menjadi 1500 kg TBS per satu kali panen setelah sebelumnya hanya 300 kg saat belum menerapkan manajemen pengelolaan kebun terbaik.
41% petani sawit di Indonesia merupakan petani swadaya, yaitu petani yang mengusahakan perkebunan kelapa sawitnya sendiri. Rata-rata pendapatan petani plasma lebih tinggi dibanding petani swadaya, hal ini sebagai dampak dari produktivitas TBS di petani plasma yang juga lebih tinggi dibandingkan petani swadaya. Alasan dibalik tingginya produktivitas petani plasma diantaraya karena penerapan standar RSPO dalam praktik budidaya dan pengelolaan perkebunannya dinilai lebih baik dibandingkan petani swadaya. Perbedaan akses informasi, input, finansial, dan pasar ditengarai menjadi faktor yang menyebabkan kemampuan petani swadaya untuk memenuhi standar yang ditetapkan dalam sertifikasi ISPO/RSPO.
BAPPENAS pada Rencana Pembangunan Berkelanjutan menyusun arah kebijakan pangan dan pertanian berkelanjutan dalam RPJMN 2020-2024. Prioritas programnya diantaranya peningkatan produktivitas dan praktik budidaya pertanian berkelanjutan. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana upaya sinergi yang bisa dilakukan oleh akademisi, swasta, pemerintah, dan komunitas untuk bisa mendorong petani swadaya sawit dengan segala keterbatasannya tersebut sehingga siap untuk menerapkan praktik budidaya sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan—dalam hal ini adalah dengan menerapkan BMP saat pra-produksi, masa budidaya, hingga pemanenan? Dukungan seperti apa yang bisa memperkecil gap tantangan dan kesulitan pada petani swadaya untuk menerapkan BMP dalam usaha budidayanya?