Berlari Mengatasi Hambatan Tariff dan Non-Tariff Bahan Baku Ekspor Indonesia
Pelemahan ekonomi global turut mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dampak dari pelemahan tersebut adalah ketergantungan Indonesia terhadap aliran modal portofolio untuk membiayai transaksi berjalan yang defisit. Mengapa Indonesia bergantung kepada aliran modal “panas” tersebut? Penyebab utamanya adalah melemahnya pertumbuhan ekspor dan penanaman modal asing. Hal tersebut dapat tercermin dari perbandingan data antara Indonesia dengan negara-negara di ASEAN.
Sumber: World Development Indicator, 2019
Data dari World Development Indicator (2019) menunjukan bahwa kontribusi perdagangan dari Indonesia terhadap GDP di tahun 2018 mencapai 43 persen. Angka tersebut bahkan menurun jika dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 46,7%. Nilai perdagangan terhadap GDP dari Malaysia, Thailand dan Vietnam telah mencapai lebih dari 100% sejak tahun 2010. Di tahun 2018, persentase GDP Malaysia dan Thailand masing masing mencapai 132%, 123% dan 187%. Perlu diperhatikan bahwa persentase perdagangan terhadap GDP Vietnam meningkat dari 152,2% di tahun 2010. menjadi 187,5% di tahun 2018. Tingginya persentase perdagangan terhadap GDP dari Malaysia, Thailand dan Vietnam juga dipengaruhi oleh besarnya kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor barang. Kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor barang dari Malaysia di tahun 2017 mencapai 67,9% dan Vietnam mencapai 83%, sedangkan Indonesia hanya mencapai 43,6 persen. Bagaimana kebijakan yang dapat diambil untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?
Laporan Indonesia Economic Quarterly (IEQ) Report dari bank dunia pada kuartal-1 2019 membahas bahwa pelemahan kontribusi ekspor disebabkan oleh kebijakan yang justru meningkatkan biaya dan mengurangi kualitas dari input produksi. Kebijakan tersebut berupa naiknya hambatan tariff dan non-tarif bagi impor barang-barang modal dan produk antara untuk produsen Indonesia.
Indonesia Non Tariff Barrier | NTM affected product – HS6 |
Registration requirement for importers for TBT reasons (B150) | 1687 |
Traceability information requirements (B850) | 1366 |
Inspection requirement (P610) | 383 |
Export Registration requirements (P140) | 967 |
Pre-shipment inspection (C100) | 1215 |
Authorization requirement for TBT reasons (B140) | 1000 |
Export price control measures (P300) | 867 |
Export technical measures, n.e.s. (P690) | 452 |
Product quality or performance requirement (B700) | 314 |
Licensing or permit requirements to export (P130) | 189 |
Sumber: WITS, 2019
Data dari World Integrated Trade Solution (WITS) 2019 menunjukan bahwa rata-rata tariff most favoured nation untuk barang modal dan intermediate goods Indonesia paling tinggi dibandingkan China dan Vietnam. Selama periode tahun 2000 sampai tahun 2017, Indonesia meningkatkan rata-rata impor tarif untuk produk antara sebesar 0,3 persen. Menurut ekonom senior Chatib Basri, impor barang modal diperlukan karena Indonesia belum memiliki mesin dan teknologi. Beliau juga menyampaikan bahwa sebagai negara berkembang, wajar jika Indonesia banyak melakukan impor barang modal seperti mesin dan teknologi untuk digunakan kegiatan produktif. Studi empiris dari Pavnick (2002) menunjukan bahwa kenaikan dari tarif menurunkan produktivitas dan output perusahaan di sektor yang diproteksi.
Dari segi hambatan non-tariff, dari dari WITS juga menunjukan bahwa terdapat banyak sekali hambatan non-tariff untuk produk HS6 di Indonesia. Sebagai contoh, terdapat 1687 produk HS6 yang terdampak dari peraturan registration requirement for importers for TBT reasons dan 1366 produk HS6 yang terdampak dari peraturan traceability information requirement. Marks (2017) juga menemukan adanya kenaikan nominal rate of protection di beberapa sektor yang menjadi barang antara seperti baja dan peralatan modal. Dampak dari kebijakan tersebut adalah kenaikan biaya dari produsen domestik yang selanjutnya berdampak terhadap rumah tangga (Bank Dunia, 2019).
Menurut Bank Dunia (2019) kebijakan jangka pendek yang perlu dilakukan adalah mengurangi hambatan impor, baik dalam bentuk tariff dan berbagai beban non-tarif lainnya. Eksportir di Indonesia masih melakukan impor untuk input secara intens, sehingga eliminasi hambatan tersebut dapat mengurangi biaya dan meningkatkan ketersediaan input untuk eksportir.
Dari segi kebijakan tarif, rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan Indonesia adalah memulai dengan “memutar” kenaikan impor tarif di beberapa tahun terakhir, khususnya melakukan review mengenai anti-dumping tariff bagi produk antara yang menjadi bahan baku industri. Mengenai hambatan non-tariff, penting bagi Indonesia untuk fokus kepada sektor yang “terkena” beban terbesar dari hambatan tersebut. Sebagai contoh, melakukan tinjauan biaya dan manfaat kepada beberapa produk sertifikasi SNI. Tentu saja tujuan dari kebijakan ini adalah mengurangi biaya dari bahan baku, dengan tetap memperhatikan standar keamanan dan lingkungan Indonesia.
Hambatan tariff dan non-tarif menjadi beban yang turut mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Jika Indonesia berhasil mengurangi hambatan tersebut, bukan hanya ekspor yang meningkat, namun juga dapat menarik investasi masuk ke Indonesia. Pemerintah Indonesia juga perlu memperhatikan implementasi kebijakan dalam mengurangi hambatan dan tidak hanya fokus pada “membuat” kebijakan. Tidak boleh terlambat, Indonesia harus bekerja sebaik-sebaiknya agar permasalahan defisit transaksi berjalan dapat diatasi secepat mungkin. Ayo Indonesia, kencangkan ikat pinggangmu dan berlari secepat-cepatnya!