Blockchain: Peluru Perak dalam Kepabeanan

Lama penyelesaian urusan di kepabeanan berpengaruh terhadap kinerja ekspor perusahaan manufaktur. Analisis penulis dengan menggunakan data level perusahaan dari WBES tahun 2015 dan metode ordinary least squares menunjukan rata-rata lama hari penyelesaian urusan ekspor di kepabeanan memiliki pengaruh negatif terhadap total ekspor serta total ekspor secara langsung. Kenaikan 1% hari untuk menyelesaikan urusan kepabeanan ekspor akan mengurangi total ekspor hingga 0,4% dan nilai ekspor langsung sebesar 5,7% (Mahardika, 2020)[1].

Perdagangan dan partisipasi dalam rantai produksi global merupakan suatu keniscayaan untuk mewujudkan transformasi. Jangan sampai berbagai kebijakan kepabeanan justru menghambat partisipasi Indonesia di perdagangan global. Pandemi COVID-19 menjadi momentum transformasi kepabeanan untuk memberikan fasilitasi perdagangan yang lebih baik. Indonesia dapat mengadopsi blockchain sebagai perwujudan transformasi digital dalam custom clearance untuk meningkatkan efisiensi fasilitiasi perdagangan.

“Blockchain” merupakan tipe data struktur yang mengidentifikasi dan mencatat seluruh transaksi berbasis digital dan membagi informasi tersebut diantara jaringan komputer yang terkoneksi, sehingga menciptakan jaringan yang terpercaya (Okazaki, 2018). Keunggulan utama teknologi blockchain adalah penghematan biaya dan waktu, serta dokumen yang lebih aman melalui enkripsi yang saling terhubung dalam suatu jaringan. Teknologi blockchain merupakan masa depan sistem kepabeanan yang menawarkan berbagai manfaat, dari pengumpulan data yang lebih akurat termasuk data pajak dan bea cukai, serta mendeteksi fraud dengan cepat. Menurut Okazaki (2018) berikut beberapa dampak penting dari aplikasi blockchain dalam sistem kepabeanan.

Pertama, data driven menjadi kata kunci dalam sistem kepabenanan. Melalui sistem blockchain, sistem kepabeanan mampu mengumpulkan data dengan akurat dan cepat (contoh beberapa indikator komoditas yang berkaitan dengan data harga, pembeli, penjual, kuantitas, asuransi, lokasi komoditas dan lainnya).

Kedua, sistem kepabeanan yang tergabung dalam blockchain akan mempermudah administrasi dalam perdagangan. Data yang masuk dalam blockchain secara otomatis terintegrasi dalam sistem kepabenanan, sehingga trader maupun transporters dapat langsung mengecek data tersebut. Bahkan dalam sistem yang lebih terintegrasi, otoritas kepabeanan dapat menyelesaikan berbagai urusan administrasi langsung dalam blockchain itu sendiri.

Ketiga, blockchain dapat meningkatkan pendapatan melalui meningkatnya tingkat kepatuhan dan kerjasama antara sistem perpajakan dan kepabeanan. Sistem otomasi yang dapat langsung diakses oleh kepabenanan ke data yang disimpan dalam sistem negara tujuan ekspor dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan di negara yang mengimpor komoditas tersebut. Hal ini akan membantu sistem kepabeanan, terutama dalam isu terkait valuasi dan transfer pricing.

Keempat, blockchain membantu otoritas kepabeanan untuk mengatasi financial crimes serta masalah aliran keuangan gelap. Studi Ningrum et al (2018) dari Prakarsa pada periode 1987 hingga 2017 menunjukan aliran keuangan gelap enam komoditas ekspor unggulan Indonesia (batu bara, tembaga, minyak sawit, karet, kopi dan udang-udangan/krustasea) mencapai USD142,07 miliar. Akibat praktik trade misinvoicing di enam komoditas ekspor tersebut, Indonesia diperkirakan kehilangan potensi penerimaan pajak hingga USD11,1 miliar selama tahun 1989 hingga 2017 (Ningrum et al., 2018).


[1] Mahardika, Reza Bangun. (2020). Determinan dari Kinerja Ekspor Perusahaan Manufaktur Indonesia: Peran dari Regulasi dan Kapabilitas Perusahaan. Disusun dalam rangka mengikuti Call for Paper dari Exim Bank Indonesia

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *