Pilar perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar hampir 97 persen dari total lapangan usaha yang diciptakan. Lebih lanjut sektor UMKM ini didominasi oleh pelaku usaha perempuan. Menteri Keuangan RI pada awal 2022 menyebut, 52 persen dari 63,9 juta pelaku usaha mikro adalah perempuan. Dari tingkat usaha kecil, 56 persen dari 193 ribu pelaku usaha skala kecil dan dari skala usaha menengah 34 persen dari 44,7 ribu pelaku usahanya adalah perempuan. Fenomena ini begitu menarik perhatian bahwa perempuan berkontribusi besar dalam menggerakkan roda perekonomian negara ini, sekaligus fakta menarik untuk digali lebih jauh.
Lebih lanjut, di Indonesia sektor formal menyerap 39,53 persen dari total penduduk bekerja dan sekitar 60 persen penduduk bekerja pada sektor informal. Secara singkat sektor formal dimaknai sebagai sektor yang terdiri dari unit usaha yang telah mendapatkan proteksi legal dari pemerintah termasuk dalam hak-hak pekerjanya. Sedangkan sektor informal sebaliknya, BPS mendefinisikan berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas, dan pekerja keluarga yang tidak dibayar. Sayangnya, pada 2021 sebanyak 98 persen UMKM dikategorikan sebagai sektor informal. Alasan mengapa perempuan mendominasi sektor yang tidak pasti ini membuat banyak asumsi bermunculan sebab ketidakpastian erat kaitannya dengan risiko, hal ini tentu tidak diinginkan untuk menaruh risiko tinggi pada mata pencahariannya. Risiko tersebut meliputi potensi upah rendah di bawah standar, tidak mendapatkan perlindungan sosial, dan hak-hak normatif lainnya yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan temuan Perempuan Mahardika, masalah lingkungan kerja yang tidak mengakomodir hak-hak perempuan yang telah diatur undang-undang adalah faktor yang berperan besar dalam menghambat partisipasi perempuan di sektor pekerjaan formal. Masih banyak perusahaan yang belum mengakomodir hak kesehatan reproduksi perempuan diantaranya cuti haid dan melahirkan dan keberadaan sarana laktasi di kantor. Perempuan usia produktif tidak dapat dilepaskan dari fase reproduksi yang harus dijalani, perusahaan yang tidak mengakomodir hak-hak perempuan untuk tetap nyaman dalam fase reproduksi ini menimbulkan dorongan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan lain atau memilih tidak bekerja selama fase reproduksi tersebut (hamil, melahirkan, dan menyusui). Maka satu-satunya jalan untuk kembali memiliki penghasilan bagi perempuan setelah memutuskan mengambil “jeda reproduksi” adalah pekerjaan informal, yang lebih terbuka terhadap batasan usia dan pengalaman pekerja, meskipun konsekuensinya adalah sebuah ketidakpastian dalam perlindungan hak-hak pekerja.
Temuan lain berdasarkan data Sakernas 2017-2018 bahwa rata-rata pekerja laki-laki mendapatkan upah sebesar 3,06 juta rupiah sedangkan pekerja perempuan memiliki rata-rata upah sebesar 2,4 juta rupiah. Perbedaan mencolok pada gaji yang diterima oleh masing-masing gender memberikan gambaran kesempatan kesetaraan upah pekerja masih menjadi pekerjaan rumah bagi pembuat kebijakan. Kesempatan akses bagi perempuan akan pekerjaan yang memberikan kepastian hak-hak pekerja sesuai peraturan yang berlaku adalah faktor penting untuk meningkatkan proporsi pekerja sektor formal. Partisipasi dominan perempuan di sektor UMKM adalah hal yang harus diapresiasi, namun membuka kesempatan luas untuk perempuan berkarir di sektor formal juga hal yang harus diusahakan.