Keterlibatan Indonesia dalam Global Value Chain di tahun 2009 hanya sebesar 41%. Nilai tersebut didominasi oleh aktivitas ekspor produk setengah jadi (barang input) dari Indonesia hingga 27%-nya. Daya saing suatu negara dalam ekonomi global dapat diukur dari seberapa besar nilai tambah yang diberikan dalam aktivitas ekspor negara tersebut. Total ekspor Indonesia yang hanya menyumbang 1% nilai tambah dari total ekspor dunia, yang berarti hanya 0,9% dari gross exports menunjukkan daya saing Indonesia yang masih rendah.
Untuk bisa memasuki rantai pasok global dengan nilai tambah lebih, Indonesia harus meningkatkan daya saing produk ekspornya terutama pada produk-produk akhir. Persoalan ini masih dihadapi negara ini dimana Indonesia belum bisa optimal dalam mengembangkan produk yang jadi permintaan dunia atau ketidakmampuan Indonesia bersaing dengan produk dari negara lain yang memiliki spesifikasi lebih baik.
Salah satu faktor dari rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan beberapa negara di atas adalah lemahnya penguatan inovasi industri nasional. Berdasarkan laporan dari World Economic Forum, kuantitas dan kualitas dari R&D di Indonesia; kemampuan negara untuk menumbuhkan kolaborasi, konektivtas, kreativitas, keberagaman, dan perbedaan dari berbagai visi dan sudut pandang; serta kemampuan untuk mewujudkan suatu gagasan/ide menjadi produk barang atau jasa di Indonesia baru bisa menduduki peringkat 68, lebih rendah dibandingkan Filipina, Thaiand, Malaysia, dan Singapura. Malaysia lagi-lagi sebagai negara tetangga sekaligus kompetitor Indonesia telah menduduki peringkat 30 dalam hal Innovation Capability.
Dalam menunjang inovasi yang diperlukan Indonesia, nyatanya peringkat kesiapan teknologi di Indonesia juga masih lebih rendah dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Pada 2017, Indonesia baru bisa mencapai peringkat 80 dengan skor 3,9 dari 7. Namun, perlu diapresiasi bahwa nilai tersebut merupakan hasil peningkatan dari tahun sebelum-sebelumnya. Dari indikator tersebut, dapat diketahui setidaknya 2 informasi terkait penggunaan teknologi informasi dan komunikasi serta kemampuan perusahaan untuk bisa mengadopsi teknologi baru yang masih belum maksimal.
Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Indonesia periode lalu, menyebutkan bahwa di dalam global value chain, niai tambah terbesar produk industri dihasilkan pada proses R&D dan purna jual, kemudian diikuti dengan proses branding, pemasaran, desain dan distribusi. Inovasi industri penting untuk terus dilakukan mengikuti perubahan perilaku konsumen seiring dengan berkembangnya penggunaan teknologi. Tidak menutup kemungkinan bahwa hadirnya revolusi industri 4.0 dapat meningkatkan efisiensi produksi sehingga menghasilkan produk yang kompetitif.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan apakah kualitas lembaga yang melakukan research and development sudah bisa menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi Industri, baik lembaga research universitas, lembaga research milik negara, maupun lembaga research swasta milik industri itu sendiri. Dalam menguatkan fungsi lembaga penelitian, maka berbagai fungsi organisasi juga perlu mendapatkan perhatian seperti kualitas sumber daya manusia, sumber pendanaan, dan perkuatan kerja sama kolaboratif antar berbagai sektor.
Skema triple helix yang sudah dikembangkan di berbagai negara dengan ekonomi industri, China salah satunya membuktikan bahwa adanya kerja sama antara institusi pendidikan sekaligus research dengan pemerintah dan industri dapat menopang perekonomian negaranya. Pemerintah dapat menjadi jembatan yang mempertemukan kebutuhan industri (demand) dengan kemampuan universitas sebagai supplier untuk menghasilkan research terapan. Dalam mengembangkan inovasinya, industri juga perlu mendapatkan dukungan peningkatan kompetensi tenaga kerja, pembangunan infrastruktur strategis, dan penerapan standarisasi produk industri sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar global.