Salah satu dampak yang diakibatkan dari pandemik Covid-19 yang belum berkesudahan di dunia adalah terjadinya disrupsi rantai pasokan produksi. Hal ini terjadi terutama pada industri yang bergantung pada rantai pasok global. Beberapa negara memutuskan untuk melakukan pembatasan perdagangan ekspor sehingga aktivitas produksi dalam negeri yang bergantung pada bahan baku impor menjadi terhambat.
Substitusi impor dengan mencari alternatif negara lain adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan. Namun, hal yang lebih besar lagi adalah menciptakan industri substitusi impor sendiri di dalam negeri. Meski begitu, proses ini tidaklah mudah. Perlu perencanaan yang matang, cepat, dan taktis dalam mendorong tumbuhnya industri substitusi impor di dalam negeri. Pilihannya adalah memulai atau tidak sama sekali.
Industri alat kesehatan dan suplemen herbal sudah pasti menjadi industri baru yang dibutuhkan. Permintaan dari industri ini terus meningkat karena meningkatnya kebutuhan tenaga medis untuk menangani pasien positif corona. Suplemen herbal juga baru-baru ini meningkat permintaannya karena diyakini masyarakat dapat meningkatkan imunitas tubuh.
Data dari DJBC per tanggal 19 April 2020 menunjukan bahwa sebanyak 3,26 juta test kit diimpor ke Indonesia. Disisi lain, sebanyak 10.000 rapid test kit (Rapid Diagnostic Test/RDT) untuk mendeteksi IgG/IgM berbasis peptide sintesis akan diproduksi paling lambat 8 Mei 2020 oleh konsorsium BPPT, Unair, dan UGM. Artinya, Indonesia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk memproduksi test kit sendiri, maka dorongan pemerintah sangatlah penting untuk membangun industri tersebut. Industri alat kesehatan (alkes) seperti masker dan alat pelindung diri (APD) juga masih bergantung pada bahan baku impor, salah satunya dari Korea Selatan. Di dalam negeri, kebutuhan APD meningkat menjadi 16,5 juta pcs per bulan dan masker menjadi 162 juta pcs/bulan. Jika Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan APD dan masker hingga cukup untuk di ekspor, maka dukungan industri bahan baku akan membantu meningkatkan efisiensi produksi dari kedua produk tersebut.
Industri farmasi berbasis herbal bukanlah hal yang baru didiskusikan. Isu ini sudah lama dibahas dan hingga hari ini belum mampu berkembang pesat di Indonesia. Pandemic covid telah menciptakan kebiasaan baru masyarakat mengkonsumsi vitamin dan minuman herbal untuk meningkatkan imunitas. Indonesia juga memiliki setidaknya 30.000 tanaman herbal yang dapat digunakan untuk bahan baku Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Dukungan pemerintah berupa penguatan riset obat dan metode kesehatan herbal sangat diperlukan untuk meyakinkan konsumen akan khasiat produk tersebut. Industri juga diberikan dukungan untuk melakukan hilirisasi hasil riset tersebut.
Menariknya, produk-produk kegiatan outdoor pun diprediksi akan meningkat setelah lockdown dilonggarkan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan keinginan masyarakat untuk menikmati lingkungan outdoor. Misalnya sepeda, minat belanja pada sepeda Polygon meningkat hingga 1.036% sejak awal Maret 2020 jika dibandingkan dengan bulan Februari. Meski Polygon telah menjadi brand yang cukup terkenal di Indonesia, pada tahun yang sama sepeda impor dari China membanjiri pasar Indonesia tentu saja dengan harga yang lebih murah. Hal ini dapat berakibat pada menurunnya daya saing produk sepeda lokal. Oleh karena itu dukungan pemerintah terhadap industri lokal sangatlah diperlukan, dalam kasus ini salah satunya melalui prioritasi produsen dalam negeri.