State-owned enterprises atau biasa dikenal dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pilar ekonomi yang penting, baik di negara berkembang dan negara maju. Dampak dari kehadiran BUMN juga berbeda-beda antar waktu. Di akhir 1970-an, BUMN berkontribusi 7% GDP dari perekonomian negara maju, 12% negara berkembang non sosialis dan 90% di planned economies (Bernier 2014; Musacchio and Lazzarini, 2014). Tidak hanya itu, BUMN juga masih memiliki proporsi yang besar pada kapitalisasi pasar, investasi, penyerapan tenaga kerja dan industri utama seperti utilities dan infrastruktur (Clo et al. 2016).
Benassi dan Landoni (2019) menulis sebuah artikel yang berjudul “State-owned enterprises as knowledge-explorer agents” dengan tujuan melihat peran dari perusahaan BUMN dalam memproduksi pengetahuan baru maupun inovasi teknologi. Artikel tersebut dapat menjadi pelajaran yang berharga bagaimana BUMN mampu memacu inovasi di suatu negara.
Antonelli et al. (2014) berpendapat bahwa BUMN merupakan mekanisme yang kuat dari tata kelola pengetahuan. Contoh dari hal tersebut ditunjukan dari peran BUMN yang merupakan sumber spillover pengetahuan yang luas biasa pada gelombang kedua industrialisasi Italia (Benassi dan Landoni, 2019). Beberapa faktor menjelaskan mengapa BUMN merupakan sumber kontribusi dari produksi dan berbagai pengetahuan baru. Pertama, BUMN bergantung pada institutional mix dari hak milik, dimana properti dari sektor publik paralel dengan gaya entrepreneur perusahaan swasta. Kedua, BUMN menikmati otonomi manajerial dan dapat memanfaatkan berbagai proyek R&D yang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Ketiga, BUMN dapat berperan sebagai sistem R&D yang terbuka dimana BUMN berperan sebagai interface antara penelitian saintifik melalui ratusan proyek dengan struktur eksternal dan berbagai teknologi baru, yang diraih melalui lisensi, perjanjian teknologi dan joint-venture dengan perusahaan multinasional.
Pendukung dari “entrepreneurial state” contohnya berpendapat bahwa negara memiliki peran dalam memandu “technoeconomic process” (Mazzucato, 2013). Berdasarkan pandangan tersebut, inovasi radikal yang menjadi bahan bakar utama dari dinamika kapitalisme seperti kereta, internet atau nanoteknologi modern, bergantung pada seberapa besar kemauan untuk berinvestasi di sektor “capital-intensive” (Mazzucato, 2013). Benassi dan Landoni (2019) memberikan dua contoh studi kasus dari perusahaan Prancis-Italia: STMicroelectronics di bidang industri semikonduktor dan Thales Alendia Space di bidang industri aerospace.
Studi kasus dari STMicroelectronics dan Thales Alenia Space menunjukan bahwa BUMN dapat memacu inovasi ketika manajer BUMN dan pengambil-kebijakan ekonomi dan politik memiliki satu misi yang sama. Faktor otonomi dari manajer berperan penting dimana manajer dari kedua BUMN tersebut menikmati kebebasan yang luas dalam melakukan eksplorasi hal baru dan efektif dalam menjalin hubungan dengan perusahaan lain. Benassi dan Landoni (2019) berpendapat bahwa BUMN harus memiliki kapabilitas combinatorial. Artinya, BUMN harus mampu mengkombinasikan berbagai ilmu pengetahuan serta membangun praktek organisasi yang sustainable.
Benassi dan Landoni (2019) juga memperingatkan kompleksitas dari lanskap inovasi. Lanskap inovasi tersebut tidak dapat dipahami sebagai dikotomi sederhana yang berdasar kepada intervensi pemerintah atau peran swasta. Intervensi pemerintah dan perusahaan swasta memiliki konstituen yang berbeda sejauh pengetahuan mendasar dan inovasi merupakan misi utama. Kedua hal tersebut bukan merupakan hal yang homogen dimana intervensi pemerintah terjadi di berbagai langkah kelembagaan yang harus dikaji secara lebih mendalam. Pemerintah dalam mendukung penciptaan teknologi secara mendasar melalui pembiayaan universitas, pusat riset publik serta proyek jangka panjang antara pemerintah dan swasta. Maka, BUMN memiliki beberapa hal yang seharusnya dikaji lebih mendalam agar mampu memacu inovasi. Lantas, apakah BUMN di Indonesa telah siap dan mau untuk menjadi pionir dalam meraih Indonesia maju berbasis ekonomi high-technology?