Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia (dengan perkiraan sebesar 33 juta ton pada 2016) dan ditargetkan tumbuh menjadi 40 juta ton pada 2020. Peningkatan ini akan memicu ekspansi wilayah terluar, khususnya di kalangan petani (Potter 2015). Secara langsung atau tidak langsung, industri sawit memengaruhi penghidupan jutaan orang; pada tahun 2011, diperkirakan perkebunan sawit menyokong secara langsung penghidupan 1,46 juta rumah tangga di Indonesia (BPS 2013). Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan merevitalisasi perkebunan petani sawit dengan meningkatkan efisiensi petani produsen, mengurangi kesenjangan produktivitas antara produsen kecil dan besar (perkebunan) serta meningkatkan penghasilan petani. Target ini sejalan dengan agenda lebih besar untuk mengurangi kemiskinan di desa dan meningkatkan kesetaraan. Namun, kekhawatiran terkait dampak sosial perkebunan tetap muncul. Masalah gender seringkali teralihkan dalam perdebatan seputar sawit berkelanjutan, bahkan ketika perempuan berperan penting dalam sektor ini (sebagai pekerja perkebunan, petani dan/ atau anggota masyarakat lokal), ketidaksetaraan gender justru merajalela.
Padahal realitanya, perempuan memiliki potensi strategis pada sektor pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Potensi ini dapat dilihat pada keterlibatan perempuan secara langsung, dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit di kebun milik keluarga. Namun, pengetahuan dan pendidikan tentang gender menjadi salah satu kendala di masyarakat dalam menerapkan berbagai prinsip dan konsep gender yang pada dasarnya menjadi salah satu kunci untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi perempuan dalam mengeksplorasikan kemampuan dan potensinya di dalam berbagai aktivitas di masyarakat maupun di perkebunan kelapa sawit. Hal lain yang terpenting adalah upaya mencegah potensi diskriminasi dan kesenjangan sosial dalam kehidupan berkeluarga petani kelapa sawit, khususnya dari sisi perempuan. Dalam berbagai penelitian yang telah dan tengah dilakukan, tercatat tersingkirnya perempuan dari lahan yang mereka manfaatkan untuk penyedia pangan keluarga dan penghasilan, menempatkan perempuan sebagai pekerja bayangan dan pekerja sampingan sawit, serta ketidakadilan yang dihadapi petani perempuan dalam mengakses kredit dan manfaat jasa tambahan dari sawit.
Sebagai sebuah standar internasional yang dominan bagi sawit berkelanjutan, RSPO dapat menjadi jalan yang penting dalam mengatasi penyebab ketidaksetaraan gender dalam budidaya sawit, dan akan berimplikasi untuk standar lain yang tengah mencari bentuk tata kelola sawit berkelanjutan, seperti ISPO. Namun, saat ini P&C RSPO dan panduan yang menyertainya memiliki kesenjangan besar. Sorotan masalah gender dalam sistem produksi sawit di Indonesia antara lain ketidaksetaraan yang terwujud dalam tersingkirnya perempuan dari lahan (milik sendiri atau komunal), kurangnya akses lapangan kerja yang layak sebagai pekerja sawit dan kontribusi tak langsung terhadap produksi sawit, serta ketidakberdayaan bersuara dan berorganisasi dalam menentukan masa depan sendiri), perempuan tidak terwakili dalam koperasi petani, dan penghasilan bulanan dari penjualan buah sawit dibayarkan pada lelaki. Perempuan juga tidak mendapat akses mandiri terhadap bahan baku pertanian, pelatihan dan kredit keuangan. Ketika sawit menggantikan bentuk penghidupan lain, kurangnya akses aman terhadap lahan dan lemahnya informasi proses produksi mengurangi opsi mundur dalam kasus kegagalan pernikahan atau kematian lelaki kepala keluarga dan masih banyak permasalahan lainnya.
P&C RSPO dan panduannya (RSPO 2013, 2015) sangat diperlukan untuk menentukan seberapa jauh perlindungan terhadap hak perempuan (sebagai pekerja, petani dan anggota masyarakat). Bergerak melampaui prinsip ‘tidak membahayakan’ untuk membuka peluang memberdayakan perempuan (dengan memberi mereka suara dan akses pada sumber daya produktif). Paling eksplisit, gender disebutkan dalam Prinsip 6 terkait pada ‘pertimbangan yang bertanggung jawab atas pegawai, individu dan masyarakat terdampak oleh pekerja perkebunan dan pabrik’. ‘Perempuan’ dan ‘gender’ tampil dalam indikator terkait hak pekerja dan masyarakat terdampak produksi sawit, standar kesehatan dan keamanan pekerja serta pembentukan perusahaan baru. Secara umum, standar RSPO tidak dibuat spesifik gender. Diasumsikan bahwa perempuan dan lelaki ditempatkan setara dan mendapat manfaat secara adil. Gender harus dinyatakan secara eksplisit, dan dimasukkan sebagai sebuah kategori diskriminasi yang khusus. Di seluruh standar RSPO, masalah gender dipandang sebagai urusan keluarga dan masyarakat, oleh karena itu berada di luar cakupan RSPO.
Prinsip-prinsip terkait hak lahan, Prinsip 2 (tentang kepatuhan terhadap sistem lokal dan sistem adat), Prinsip 6 (tentang pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap individu dan masyarakat terdampak oleh pekerja kebun dan pabrik), dan Prinsip 7 (tentang pengembangan responsif perkebunan baru), seluruhnya berhubungan dengan FPIC. Namun, indikator dan panduan FPIC menggunakan bahasa netralgender dan tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa perempuan perlu dilibatkan dalam negosiasi selama dan setelah akuisisi lahan pada penanaman baru. Lebih jauh lagi, kepatuhan terhadap hukum dan sistem adat dikemukakan, tetapi potensi konflik antara kepemilikan lahan perempuan dan akses terhadap hak dan hak adat tidak disinggung. Indikator dan panduan mekanisme pengaduan (Prinsip 6.3) lebih sensitif terhadap gender dibandingkan FPIC. Representasi perempuan dianjurkan dalam komite konsultatif gabungan, demikian juga hak perempuan untuk mendapat kompensasi yang adil (Prinsip 6.4.2). Namun, partisipasi setara-gender tidak wajib, dan tidak ada panduan lebih lanjut mengenai implementasi kompensasi yang adil. Potensi dampak sawit pada masyarakat sekitar, termasuk perempuan, dikemukakan dalam Prinsip 7, walaupun tanpa panduan bagaimana seharusnya dampak tersebut dinilai. Dalam ketenagakerjaan, ditekankan hak perempuan dalam perkebunan, namun panduan yang diberikan untuk auditor sangat sedikit. Penyediaan panduan sangat berorientasi pada proses (penekanan pada dokumentasi dan konsultasi), tetapi parameter penilaian tidak disebutkan (seperti jumlah perempuan dan lelaki yang dipekerjakan, posisi permanen atau temporal, persamaan upah dan manfaat dll.). Di sana dikemukakan juga panduan lebih jelas pada soal perlindungan pekerja perempuan terhadap pelecehan dan penyimpangan. Risiko kesehatan dan keamanan di tempat kerja juga dinyatakan. Namun, tidak jelas apakah standar tersebut menjamin perempuan hamil dan sedang mengasuh anak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti dalam bentuk tugas lain yang berbayar untuk memastikan bahwa persyaratan sertifikasi ini tidak menjadi mekanisme de facto diskriminasi gender dalam pekerjaan berupah. P&C tidak berisi apapun mengenai peningkatan akses perempuan terhadap kredit, bahan baku pertanian dan sumber daya produktif lain. Tampaknya ini bukan karena gender dikecualikan, tetapi karena P&C RSPO lebih berorientasi pada perlindungan dibanding pemberdayaan dan produktivitas. Satu kriteria yang bisa diasumsikan terkait peningkatan produktivitas adalah Prinsip 2 – ‘komitmen pada ekonomi jangka panjang dan kelayakan finansial’. Namun, dua indikator ini hanya terkait dengan perencanaan bisnis dan penanaman kembali. Tidak ada indikator mengenai akses pasar, kredit, bahan baku pertanian dll. Non-diskriminasi pekerja dan pekerja kontrak disebut, namun bahasa yang digunakan tidak spesifik gender, di tengah terkonsentrasinya perempuan dalam kategori ‘pekerja kontrak’ dan ‘pekerja informal’ (sebagai bagian keluarga). Jadi, apakah sebaiknya P&C RSPO ini dikaji ulang agar bisa terlihat dampaknya dalam perannya meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayan perempuan yang sesungguhnya?