Perlukah Indonesia Mendiversifikasi Produk Ekspornya?

Berbicara soal ekspor Indonesia, sawit merupakan salah satu produk yang sering diunggulkan. Selain karena potensi produksi sawit di Indonesia dan angka ekspornya yang tinggi, juga karena tingginya permintaan dunia akan produk sawit dan turunannya. Hal ini ditunjukkan oleh data export potential dari World bank yang menyatakan bahwa produk minyak kelapa sawit, CPO, dan turunannya memiliki potensi ekspor paling besar di Indonesia, yaitu USD 14,6 milyar permintaan belum terpenuhi. Pemerintah juga banyak memusatkan perhatiannya ke produk sawit ini, seperti melalui skema kebijakan investasi, ekspor, maupun kelembagaan industri sawit.

Kebijakan hilirisasi sawit yang telah ditempuh seperti insentif pajak, pengembangan kawasan industri integrasi industri hilir sawit dengan fasilitas/jasa pelabuhan, bea keluar, pungutan ekspor, dan mandatory biodiesel untuk substitusi solar impor. Kebijakan tersebut fokus pada pengembangan 3 produk turunan CPO yaitu oleofood, oleochemical, dan biofuel yang telah mendorong posisi ekspor produk CPO 22% berbanding 78% produk turunannya.

Meski begitu, kebanyakan ekspor produk turunan CPO ini masih pada produk turunan awal yang belum mencapai produk akhir. Data dari World bank menunjukkan bahwa Indonesia telah mengekspor 20 jenis produk turunan CPO, diantaranya refinied palm oil, olein, stearin, dsb.

Sumber: Trade Map, World Bank, 2019

Berdasarkan HS 6 digit, disamping produk turunan minyak kelapa sawit, pada 2018 ekspor Indonesia bergeser ke produk pertambangan batu bara yang ekspornya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari 10 komditas ekspor unggulan Indonesia, keseluruhannya merupakan industri low tech dan medium tech seperti yang di kelompokan dalam laporan Bappenas yang bekerja sama dengan ADB. Dibandingkan dua kelompok teknologi tersebut, industri high-tech memiliki kemampuan yang lebih baik untuk meningkatkan produktivitas suatu negara, seperti yang ditunjukkan oleh negara maju yang industrinya lebih terdiversifikasi dan canggih.

Diversifikasi dan kecanggihan industri di Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya, yang ditunjukkan oleh tingkat kompleksitas ekonomi dan produk yang diekspor. Berdasarkan laporan yang sama dari Bappenas, peringkat Indonesia lebih rendah dibanding Thailand, Vietnam, China dan Korea Selatan yang sudah lebih unggul dalam memproduksi produk dengan kompleksitas tinggi.

Semakin tinggi kompleksitas suatu produk artinya semakin banyak kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi dan ekspor. Dengan begitu, negara maju dengan ekonomi yang lebih kompleks dapat memproduksi dan mengekspor berbagai produk, termasuk produk yang kompleks maupun tidak, sementara negara dengan sistem produksi yang kurang maju hanya mampu memproduksi dan mengekspor produk dengan kompleksitas rendah.

Indonesia perlu menggeser arah industrinya ke industri high-tech yang memiliki kemampuan memproduksi produk kompleksitas tinggi sehingga mampu menghasilkan produk unik yang mungkin belum diekspor oleh negara lain. Industri yang tergolong dalam kelompok high technology adalah industri kimia, farmasi, komputer, peralatan elektronik, mesin dan peralatan, kendaraan bermotor, dan industri transportasi lainnya. Meskipun saat ini jumlah industri ini masih lebih sedikit dibanding industri low-tech dan medium-tech, namun nilai tambah yang diberikan sudah lebih tinggi. Artinya dengan mengembangkan sektor industri ini, peluang keterserapan tenaga kerja dan penambahan nilai produk akan semakin besar.

Dengan adanya pergeseran arah industri dari industri low-medium menuju industri high tech diharapkan dapat mempercepat pengurangan kemiskinan, membuka lapangan kerja berkualitas, dan mengeluarkan Indonesia dari middle income trap.

Industri high-tech tidak bisa tumbuh begitu saja tanpa dukungan dari pemerintah. Pemerintah perlu memberikan berbagai skema kebijakan dan pembangunan infrastruktur yang  mendukung sektor swasta bergerak ke industri high-tech. Pemerintah juga harus konsisten dalam penerapannya, karena tanpa dukungan pemerintah pasar akan terus mendorong industri ke arah industri konvensional yang tergerak hanya berdasarkan kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah. Melalui kebijakan “Making Indonesia 4.0”, pemerintah sudah mengamanatkan fokus pengembangan sektor manufaktur yang memiliki daya saing, tiga diantaranya merupakan industri high-tech yaitu industri otomotif, kimia, dan elektronik. Pertanyaannya, sudah sejauh manakah kesiapan SDM, Teknologi, dan Inovasi untuk  mendiversifikasi produk ekspor dan mendorong bergeraknya industri high-tech di Indonesia?

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *