Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia menyebutkan bahwa ada dua pelaku usaha perkebunan sawit. Pertama adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan kedua adalah pekebun kelapa sawit. Pekebun sawit adalah pekebun/petani yang melakukan usaha perkebunan kelapa sawit dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. Berdasarkan peraturan ini, maka tidak hanya perusahaan saja yang diakui sebagai pelaku usaha namun juga “perorangan” yang dalam hal ini adalah petani yang memiliki lahan sawit juga dikategorikan sebagai pelaku usaha perkebunan sawit.
Lebih lanjut mengenai perseorangan yang melakukan usaha di bidang perkebunan sawit bisa dikategorikan ke dua istilah yaitu: “petani plasma” dan “petani swadaya”. Di mana petani plasma adalah petani yang sudah mendapatkan pembinaan dari perusahaan sawit atau disebut juga sebagai perusahaan inti. Sementara petani swadaya merupakan petani yang berproduksi di sektor pertanian/perkebunan dengan inisiatif dan biaya sendiri dari mulai membuka lahan hingga mengolah lahan. Kategori terakhir yaitu keberadaan petani swadaya inilah yang kemudian sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut karena potensi posisi strategisnya
Di Indonesia sendiri 41% dari total lahan sawit yang ada dimiliki oleh petani swadaya. Jika luas total lahan sawit di Indonesia adalah 15.081.021 hektar; maka ada 6.032.408 hektar lahan sawit yang dimiliki oleh petani sawit swadaya. Melihat begitu besarnya luas lahan yang dimiliki oleh petani swadaya, jelas terdapat peran strategis yang dimiliki oleh petani swadaya sawit. Karena sebagai negara pemasok kurang lebih 50% suplai sawit dunia, Indonesia jelas mempunyai posisi strategis dalam rantai pasok industri dunia untuk memenuhi kuota produksi dunia untuk kebutuhan pangan atau energi bersumber dari kelapa sawit.
Salah satu peran strategis petani sawit swadaya adalah sebagai mitra yang menutupi gap produksi sawit sektor swasta, perseroan milik negara, hingga sektor inti-plasma. Hal ini berdasarkan sangat masuk akal karena penurunan produksi sawit saat pandemi Covid-19 dan juga proyeksi naiknya minyak kelapa sawit global. Selain itu terdapat faktor seperti tidak mampunya sumber alternatif seperti kacang kedelai dan bunga matahari sebagai barang subtitusi pengganti kelapa sawit. Kedua, sebagai penyangga produksi CPO Nasional, petani sawit swadaya bisa juga berperan dalam diversifikasi produk kelapa sawit dengan memproduksi biodiesel baik melalui proses hilirisasi produk sawit hingga berperan sebagai supplier bagi industri sawit penghasil biodiesel.
Selain posisi strategis untuk menopang rantai pasok industri sawit nasional, Dengan total kontribusi kelapa sawit sekitar 15,6% terhadap total ekspor non-migas di titik ini petani sawit swadaya juga mempunyai potensi memberikan porsi strategis dalam aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan luas total lahan sekitar 6 juta hektar, berdasarkan data Traction Energy Asia, diperkirakan sektor kelapa sawit swadaya bisa menyerap 5,2 juta pekerja dan membantu penghidupan lebih dari 10,4 juta jiwa penduduk, hal ini jika terlaksana maka jelas akan menghasilkan big push bagi beberapa sektor di masyarakat khususnya dalam aspek kesejahteraan.
Namun fungsi strategis petani sawit swadaya sendiri masih menghadapi tantangan untuk memaksimalkan potensinya. Sebagaimana di Indonesia petani sawit masih menghadapi permasalahan seperti kurangnya produktivitas petani sawit swadaya. Sebagai contoh: untuk memproduksi 1,2 liter CPO misalnya, industri sawit di Indonesia membutuhkan 0,29 hektar. Sementara dengan kuantitas yang sama, petani sawit swadaya membutuhkan 0,45 hektar. Tidak hanya pada aspek produksi, dengan perbandingan angka produksi; maka ada potensi deforestasi besar akibat inefisiensi dan inefektifnya produksi sawit yang dilakukan petani sawit swadaya. Hal-hal ini kemudian melahirkan beberapa tantangan yang harus dihadapi seperti produktivitas hingga aspek lingkungan yang harus dijawab secara multi-sektor.
Berdasarkan hal ini baik secara global dan di Indonesia sendiri terdapat beberapa rambu-rambu produksi kelapa sawit yang bisa dijadikan acuan seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk acuan internasional. Di Indonesia sendiri terdapat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diimplementasikan melalui sertifikasi dan sudah mempunyai aturan acuan yaitu Peraturan Menteri Pertanian Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Melalui peraturan yang mengatur sertifikasi ini diharapkan kemudian pelaku usaha kelapa sawit termasuk pekebun kelapa sawit bisa mempunyai kemampuan daya saing secara global melalui peningkatan produktivitas hingga aspek lingkungan dan sosial sehingga potensi strategis dari petani sawit swadaya di Indonesia bisa terpenuhi dan tidak hanya sebagai pelengkap dalam sistem rantai pasok industri kelapa sawit saja.