Sebagian besar program pemberdayaan UMKM yang dilaksanakan oleh Kementerian atau Lembaga saat ini berfokus pada pembiayaan UMKM, terutama dari perbankan dan lembaga keuangan, serta pendampingan UMKM. Sebagian besar program ditargetkan kepada pelaku usaha mikro dan ultramikro. Untuk mendukung dan memberdayakan usaha mikro, pemerintah memberi bantuan berupa pembiayaan atau pemberian modal usaha. Program unggulan pemberian modal yang ada di Indonesia saat ini adalah KUR. Di samping itu, terdapat program-program pembiayaan lain dalam skala yang lebih kecil, seperti bantuan permodalan usaha melalui BUMDes, KUPS, dan KUBE, PKK, dan PKWU.
Berbagai skema pembiayaan UMKM telah dirancang dan disalurkan melalui perbankan maupun non-perbankan. Namun, program tersebut dianggap masih belum terealisasi dengan baik dan tidak mencapai sasaran. Per 2019, hanya sekitar 20 persen dari alokasi anggaran pembiayaan UMKM (setara dengan Rp11 triliun) yang tersalurkan ke UMKM, termasuk realisasi program KUR. Literatur menunjukkan bahwa sebagian usaha mikro enggan mengakses permodalan yang berasal dari perbankan dan lembaga keuangan non-perbankan.
Salah satu faktor yang berkontribusi pada keengganan tersebut adalah bahwa mayoritas UMKM menggunakan usahanya untuk menambah pendapatan dan bertahan hidup. Berbagai laporan menyebutkan bahwa UMKM, terutama skala mikro dan kecil, yang memiliki visi untuk mengembangkan usahanya agar “naik kelas” masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya serapan penyaluran kredit ultramikro serta penggunaan kredit untuk tambahan modal atau konsumsi rumah tangga, dan bukan untuk investasi pengembangan usaha.
Strategi pemberian modal usaha bagi usaha ultramikro dan mikro diharapkan dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan usaha dan, pada akhirnya, membawa usahanya naik kelas. Namun, strategi tersebut perlu ditinjau secara berkala karena setidaknya terdapat dua hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, literatur dan statistik industri menunjukkan sebagian besar usaha mikro tidak tertarik pada fasilitas program kredit perbankan. Kedua, masih banyak pelaku usaha ultramikro dan mikro yang enggan mengakses permodalan, baik melalui layanan perbankan maupun non-perbankan.
Ketidaktertarikan pelaku usaha terhadap permodalan usaha merefleksikan keengganan mereka untuk mengembangkan usahanya—atau dalam terminologi khusus disebut juga keengganan untuk naik kelas. Meski banyak cendekia yang membuat growth stage model untuk bisnis dengan skala usaha kecil ke besar (Davidsson, Achtenhagen, dan Naldi; 2005) (McMahon R. G., 1998), tidak semua pelaku usaha mengikuti fase pertumbuhan bisnis yang demikian karena proses pertumbuhan unit usaha dari skala kecil ke lebih besar dinilai kompleks (Jacobs, Kotze, Merwe, dan Gerber; 2011).
Karakteristik UMKM yang enggan bertumbuh tersebut tercermin dari perkembangan UMKM di Indonesia. Tujuan pengembangan UMKM agar “naik kelas” masih belum tercapai, yang terlihat dari sangat kecilnya kontribusi usaha besar dalam perekonomian. Program pembiayaan UMKM dari pemerintah hanya mampu menjangkau sebagian kecil UMKM yang kemudian terus berulang menjadi penerima manfaat program. Dengan kata lain, program yang sama cenderung diakses oleh UMKM debitur yang sama berulang kali. Hal ini memengaruhi lambatnya upaya pemerintah untuk meningkatkan skala UMKM secara luas.
Akses UMKM ke pembiayaan yang masih rendah tersebut juga terkait dengan hambatan pengembangan usaha lainnya. Akses ke perizinan, terutama untuk membuka usaha dan meningkatkan mutu produk, termasuk pemasaran dan distribusi produk, merupakan masalah lain yang menghambat pengembangan UMKM di Indonesia. Pengembangan UMKM memerlukan kebijakan yang memiliki sasaran di setiap proses dari hulu ke hilir. Namun hal tersebut memerlukan sumber daya besar karena jumlah usaha mikro dan kecil sangat besar.