Tingginya impor petrokimia mengakibatkan terjadinya defisit neraca perdagangan pada seluruh bahan kimia. Pada 2019, impor mencapai Rp 317 triliun, sedangkan ekspor hanya Rp 124 triliun. Hal ini mendorong pemerintah untuk memprioritaskan industri substitusi impor petrokimia. Meski pemerintah telah berani menargetkan Indonesia bebas impor petrokimia pada 2024, hal ini bukan berarti bahwa rencana substitusi impor ini dapat berjalan mulus tanpa rintangan dan kendala. Rencana tersebut tentunya harus diikuti langkah-langkah pengendalian dan antisipasi terhadap kendala yang ada.
Tantangan pertama yang harus dihadapi dalam rencana substitusi impor industri petrokimia adalah ketersediaan bahan baku. Bahan baku naphta atau kondensat sebagian masih harus diimpor, hal ini tentu saja karena kelangkaan bahan baku tersebut di dalam negeri serta tidak ada kerja sama yang kuat dengan bisnis kilang minyak di Indonesia. Selain minyak, Indonesia juga mengalami kelangkaan pada bahan baku gas bumi yang digunakan untuk memproduksi amoniak dan methanol.
Meskipun Indonesia kaya akan sumber daya minyak dan gas, namun pemerintah masih membatasi penggunaan minyak dan gas bumi. Salah satu akibatnya, Indonesia masih bergantung pada impor minyak bumi. Pada 2018, impor minyak mentah naik hampir 30% dari tahun sebelumnya, demikian juga untuk minyak olahan yang meningkat 21%. Impor gas turut tumbuh 12,5%. Akibatnya, kelangkaan bahan baku untuk produksi petrokimia masih menjadi isu utama.
Kedua, mayoritas investasi asing lebih menargetkan industri hilir dibandingkan sektor hulu. Hal ini karena industri hilir berpotensi untuk memenuhi kebutuhan industri turunan yang berkaitan dengan petrokimia yang banyak berkembang di Indonesia. Sebagai contoh, IVL Thailand berinvestasi pada produksi PET yang merupakan bahan baku industri plastic, kemudian ada Dow Chemical dan BASF yang mendirikan joint ventures untuk memproduksi SBR (Styrene Butadine Rubber) yang digunakan untuk bahan baku industri karet sintetik.
Saat ini, PT Chandra Asri Petrochemical sudah menambahkan kapasitas naphta crackernya menjadi 2 juta ton per tahun, ditambah lagi Lotte Chemical juga sudah menyiapkan naphta cracker dengan kapasitas 1 juta ton. Menurut Sigit, dengan adanya 3 naphta cracker ini, self efficiency industri petrokimia Indonesia baru mencapai 50%. Tentunya, kebijakan fiskal maupun non-fiskal harus disusun dan diemplementasikan sebaik mungkin untuk mengutamakan investasi di industri petrokimia hulu.