Beberapa Negara di dunia menyampaikan akan membatasi ekspor medis maupun alat perlindungan diri. Sebagai contoh, Indonesia sendiri pada 16 Maret 2020 membatasi ekspor antiseptik serta masker dengan argumen untuk menjaga ketersediaan barang tersebut di tingkat domestik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi COVID-19 menguatkan argumen untuk proteksi maupun deglobalisasi. Argumen lainnya adalah model distribusi produksi yang melebar ke berbagai negara justru membuat negara tersebut semakin tidak self-sufficient dan selanjutnya less resilient. Solusi yang ditawarkan adalah melakukan reshoring produksi dan mengurangi ketergantungan perdagangan. Namun, ada pandangan lain yang justru menyatakan pandemi COVID-19 merupakan bukti kuat bahwa dunia membutuhkan rantai pasok global.
Goldberg (2020) dalam artikelnya yang berjudul “The New Empty Argument Against Trade” yang dipublikasikan di project syndicate memberikan beberapa argumen bahwa rantai pasok global tetap dibutuhkan di dunia ini. Pertama, pada kasus ventilator, teknologi standar untuk memproduksi ventilator yang dibutuhkan untuk membantu pasien COVID-19 berasal dari 300 bagian yang diproduksi di berbagai negara. Pembuatan ventilator tersebut menjadi panggilan yang menunjukan butuhnya koordinasi antar negara dimana di saat yang bersamaan berbagai negara merebutkan bagian untuk ventilator tersebut. Pada kasus Indonesia, Indonesia berhasil memproduksi ventilator sendiri, salah satu contohnya adalah kerjasama ITB dan PTDI yang memproduksi ventilator portable sebanyak 500 setiap minggunya. Indonesia bahkan dapat mengambil posisi di dunia global jika ventilator portable tersebut bisa diekspor ke berbagai negara yang membutuhkan, dengan catatan kebutuhan domestik telah terpenuhi.
Richard Baldwin dan Simon J. Evenett (2020) menyampaikan bahwa model kebijakan turning inward tidak akan membantu berbagai negara untuk melawan COVID-19. Salah satu contoh yang menarik dari hal ini adalah kasus tarik ulur mengenai ekspor alat pelindung diri dari Indoensia ke Korea. Dalam Tempo April 2020, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo memberikan rekomendasi mengenai pengecualian izin ekspor alat pelindung diri (APD) ke Korea Selatan dari empat perusahaan di Indonesia. Rekomendasi tersebut diberikan setelah terbitnya larangan sementara ekspor APD dari Kementerian Perdagangan, padahal menurut Doni Monardo Indonesia sendiri membutuhkan bahan baku APD impor dari Korea. Sehingga, perlu ada kerjasam dan kesepakatan agar Indonesia masih bisa memproduksi APD dengan bahan baku dari Korea, serta adanya kerjasama pembagian hasil produksi. Kesepakatan tersebut diwjudukan melalui kesepakatan 50:50 yang artinya 50 persen produksi APD yang akan diekspor digunakan di dalam negeri dan sisanya benar-benar diekspor.
Kerjasama selanjutnya yang dibutuhkan adalah kerjasama dalam pembuatan vaksi. Susan Athey, Kendall Hoyt dan Michael Kremer (2020) dalam project syndicate menulis satu artikel yang berjudul “Everyone Wins from Vaccine Cooperation”. Dalam artikelnya, disampaikan bahwa kerjasama merupakan pendekatan yang paling efektif dan yang paling cepat. Investasi multilateral untuk membangun portofolio kandidat vaksin akan membantu meningkatkan kapasitas produksi vaksin segera setalah keamanan dan kemanjuran vaksin terbangun. Setidaknya terdapat empat manfaaat utama dalam kolaborasi pembuatan vaksin menurut Athey, Hoyt dan Kremer (2020).
Pertama masing-masing negara mengurangi risiko untuk berinvestasi di vaksin yang “tidak tepat”. Sebagai contoh, ketika suatu negara berinvestasi di dua kandidat vaksin yang sudah berada di tahap uji klinis, tingkat keberhasilan satu vaksin hanya sebesar satu pertiga atau bahkan lebih rendah.
Kedua, kolaborasi internasional akan membantu pengumpulan sumber daya (resouce pooling) dimana resource pooling dibutuhkan untuk meningkatkan investasi pada kapasitas manufaktur. Satu negara kemungkinan tidka mampu untuk berinvestasi sendirian untuk membangun kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, apalagi kebutuhan permintaan global.
Ketiga, koordinasi dan kerjasama tingkat global akan mengurangi risiko pada disrupsi rantai pasok. Sama seperti kasus kekurangan swab dan reagen yang menyebabkan tertundanya test COVID-19, kekurangan glass vials, bioreactors atau adjuvants (substansi yang digunakan untuk mendorong reaksi imunitas tubuh ke vaksin) akan menyebabkan tertundanya penyebaran vaksi ke seluruh dunia.
Keempat, untuk memaksimalkan manfaat kesehatan dan ekonomi dari vaksin, pekerja kesehatan serta masyarakat rentan di berbagai dunia harus menjadi prioritas utama penerima vaksin. Kolaborasi internasional akan berdampak pada strategi alokasi vaksin yang paling efisien sehingga mampu menghentikan pandemi ini secepat mungkin. Seluruh negara di dunia sama-sama memiliki tujuan untuk melindung pekerja esensial, masyarakat yang berisiko tinggi serta masyarakat yang membutuhkan berpergian.