Kunci keberhasilan atau kesuksesan dari strategi substitusi impor bergantung pada seberapa besar pasar domestik. Ketika pasar tersebut kecil, maka akumulasi ekonomi yang diraih dari proses pembelajaran di lingkungan yang diproteksi juga cenderung kecil karena tingkat produksi yang lebih sedikit menyebabkan proses pengalaman yang lebih sedikit pula. Sehingga, kemungkinan besar substitusi impor yang selanjutnya menjadi promosi ekspor mungkin tidak dapat terjadi (Grabowski, 1994).
Keberhasilan pembangunan beberapa negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan dan Korea Selatan) menunjukan bahwa sektor pertanian yang menghasilkan pasar yang domestik yang kuat merupakan kunci keberhasilan dari substitusi impor. Ketiga negara tersebut merupakan negara yang berhasil menerapkan kebijakan substitusi impor diikuti oleh kebijakan promosi ekspor.
Pertama, pertumbuhan ekonomi modern di Jepang telah dimulai di era restorasi Meiji. Namun, temuan terbaru menunjukan bahwa pertumbuhan sektor pertanian secara signifikan dan komersialisasi tersebut sudah dimulai sejak periode Tokugawa (1600-1868) (Grabowski, 1994). Pertumbuhan ini berhasil menyebar ke seluruh Jepang, dan petani meraih manfaat terbesar dari pertumbuhan tersebut (Grabowski, 1994). Petani meraih manfaat karena ketidakmampuan pemerintah Jepang untuk meningkatkan hasil pajak untuk dalam rangka peningkatan surplus pertanian tersebut (Grabowski, 1994). Peningkatan surplus tersebut dijual dan selanjutnya digunakan untuk belanja barang non-pertanian. Sehingga, pasar untuk barang non-pertanian mulai berkembang sejak periode Tokugawa (Grabowski, 1994). Peningkatan produktivitas ini berlanjut hingga periode Meiji (Akhir abad ke-18 dan awal 19) dimana pada periode ini pemerintah feodal digantikan oleh pemerintah terpusat yang melaksanakan berbagai reformasi untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian (Grabowski, 1994). Reformasi tersebut berupa membangun hak kepemilikan yang jelas diatas lahan sehingga terciptalah pasar lahan. Pemerintah di era Meiji turut menyediakan reformasi secara langsung untuk meningkatkan produktivitas berupa penelitian mengenai pertanian dan sistem ekstensi dengan tujuan untuk menyebarkan teknologi pertanian baru ke seluruh Jepang. Kenaikan pendapatan perkapita diantara petani menyediakan pasar yang besar dan terus tumbuh untuk barang domestik produk manufaktur (Grabowski, 1994).
Pasar domestik yang besar untuk barang manufaktur sederhana (seperti tekstil) merupakan tahap awal dari suksesnya kebijakan substitusi impor. Pada awal sejarah Jepang (periode Meiji), industri tekstil merupakan industri yang dikembangkan (Grabowski, 1994). Dengan terbukanya perdagangan internasional, impor dari benang dan kain katun membanjiri pasar Jepang (Grabowski, 1994). Agar mampu berkompetisi dalam skala yang lebih besar, maka mekanisasi produksi di industri tenun dibutuhkan. Hal ini tentu membutuhkan utilisasi teknologi dan impor berbagai mesin dari pihak luar. Sebagai tambahan, akses terhadap supply kain tenun yang berkualitas tinggi tentu turut dibutuhkan.
Jepang sadar bahwa mereka harus melindungi industri tekstil domestiknya. Jepang sendiri tersandera perjanjian internasional yang membatasi sejauh mana mereka mampu melindungi industri domestik via tarif (Grabowski, 1994). Karena hal tersebut, proteksi pemerintah Jepang pada industri tekstil berupa proteksi secara tidak langsung.
Dukungan dan proteksi dari pemerintah Jepang yang berbentuk tidak langsung memiliki beberapa bentuk (Grabowski, 1994). Pertama, Jepang memberikan subsidi besar-besaran kepada pedagang jasa pengiriman, sehingga biaya pengiriman industri tekstil untuk mengimpor bahan mentah dan selanjutnya mengekspor produk jadi menjadi semakin murah. Kedua, Jepang memberikan produk tekstil secara rebate kepada kereta api pemerintah. Ketiga, pihak militer hanya membeli produk tekstil yang dibuat Jepang, sehingga memberikan jaminan pasar yang besar bagi perusahaan Jepang di industri tekstil (Grabowski, 1994).