Teori dari Grabowski (1994), pembelajaran dari Jepang serta pengalaman dari Taiwan di masa lampau menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan substitusi impor. Tentu saja perbedaan waktu dan keadaan perlu diperhatikan agar kebijakan tersebut tidak secara mentah-mentah untuk ditiru, namun perlu modifikasi lebih lanjut agar lebih sesuai dengan Indonesia.
Jika diringkas dari Grabowksi (1994) kunci dari industrialisasi berbasis substitusi impor adalah sebagai berikut:
Pertama, dari Grabowski (1994) sektor pertanian yang produktif menjadi modal utama untuk membangun pasar domestik yang kuat dan besar. Sektor pertanian tersebut menjadi kunci untuk meningkatkan kesetaraan distribusi pendapatan sehingga pasar domestik mampu terbangun dengan kuat.
Telaah pasar domestik Indonesia dapat digambarkan melalui laporan Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class yang baru saja diterbitkan Bank Dunia pada Januari 2020. Berikut adalaah telaah singkat mengenai pasar domestik Indonesia yang digambarkan melalui kekuatan kelas menengah Indonesia
Dalam laporan Bank Dunia (2020) mengenai kelas menengah Indonesia, Bank Dunia mendefinisikan 5 kelompok masyarakat Indonesia berdasarkan tingkat kesejahteraannya sebagai berikut.
Kelompok | Definisi | Pengeluaran (Rp) | Jumlah Orang (Juta) |
Miskin | Masyarakat yang memiliki pengeluaran dibawah garis kemiskinan. | Rp 354.000/orang/bulan | 28 Juta |
Rentan | Masyarakat dengan tingkat pengeluaran di atas garis kemiskinan, akan tetap masih rentan untuk menjadi miskin jika terjadi goncangan | Rp 354.000-Rp 532.000/orang/bulan | 61,6 Juta |
Menuju Kelas Menengah | Masyarakat yang tidak miskin atau rentan, namun memiliki keadaan ekonomi yang belum sepenuhnya aman. | Rp 532.000-Rp 1,2 juta/orang/bulan | 114,7 juta |
Kelas Menengah | Masyarakat yang dapat dikatakan aman secara ekonomi dan memiliki probabilitas yang lebih sedikit untuk turun menjadi rentan atau miskin | Rp 1,2 juta-Rp 6 juta/orang/bulan | 53,6 juta |
Kelas Atas | Masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi paling baik dan paling sejahtera | Rp 6 juta/orang/bulan | 3,1 juta |
Sumber: Bank Dunia, 2020
Data diatas menunjukan bahwa jumlah konsumsi kelas menuju kelas menengah dan kelas menengah total mencapai 168,3 juta atau sekitar 64,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tentu saja hal ini menjadi modal yang berharga bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan substitusi impor karena berhasil didukung oleh pasar domestik yang besar dan cukup kuat.
Ketika Indonesia telah memiliki modal pasar domestik yang cukup kuat, hal selanjutnya adalah mengadopsi dan memodifikasi kebijakan yang diterapkan oleh Taiwan dalam menerapkan kebijakan substitusi impor tahap kedua. Pemerintah Indonesia dengan berbagai aktornya harus mulai mengembangkan industri barang modal dan barang setengah jadi sehingga proporsi impor kedua barang tersebut dapat dikurangi. Strategi pengembangan industri barang modal dan barang setengah jadi dapat dimulai pemerintah ataupun mengundang investor asing. Berikut adalah rekomendasi beberapa usulan untuk mengembangkan industri barang setengah jadi atau industri barang modal tersebut:
Pertama, Indonesia harus melakukan pemetaan barang setengah jadi dan barang modal apa saja yang paling dibutuhkan oleh berbagai industri di Indonesia. Pemetaan tersebut bertujuan untuk menemukan kode HS maupun SITC produk impor, sehingga Indonesia bisa langsung selektif dalam mengembangkan barang setengah jadi maupun barang modal. Pemerintah dapat melakukan studi user experience kepada para pelaku industri, khususnya industri manufaktur.
Setelah menemukan daftar produk berdasar kode HS dan SITC, pemerintah dapat melakukan telaah, apakah pengembangan industri tersebut lebih menguntungkan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau mengundang investor asing untuk membuat pabrik barang setengah jadi dan pabrik barang modal di Indonesia. Menurut penulis, kedua opsi ini saling bertentangan sebab jika pemerintah membuat BUMN yang fokus memproduksi barang setengah jadi atau barang modal, maka investor akan kurang tertarik karena industri tersebut pasti dikuasai oleh negara dan mendapat treatment khusus dari pemerintah. Di sisi lain, pembuatan BUMN dari nol tentu memakan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit. Apalagi ditambah dengan minimnya faktor keahlian dan teknologi yang dimiliki oleh Indonesia sendiri dalam memproduksi barang setengah jadi atau barang modal.
Investor asing lebih memiliki teknologi dan kapabilitas untuk memproduksi barang setengah jadi dan barang modal yang berkualitas dibandingkan Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor pada kedua barang tersebut. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa tidak mudah untuk menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Perbaikan iklim investasi, kepastian regulasi, institusi yang berkualitas dan memastikan bahwa produk barang setengah jadi dan barang modal tersebut akan dibeli industri hanyalah sebagian faktor yang perlu diperhatikan untuk mengundang investor tersebut. Agar investor asing tertarik untuk masuk ke Indonesia, maka Indonesia dapat faktor keberhasilan Taiwan yang terdiri dari (1) memastikan pasokan input lokal tersedia dengan harga yang rasional, (2) memiliki pasar domestik yang besar dan kuat serta (3) memastikan ketersediaan modal, lahan dan tenaga kerja tingkat manajerial bagi perusahaan asing tersebut.