Republic of Korea atau Korea Selatan menempati urutan 10 pada pemeringkatan Digital Competitiveness dari IMD di 2019. Mereka dianggap telah memiliki future readiness yang baik dengan skor 89 dari 100 dan memasuki peringkat 4 dari 63 negara di dunia. Hal tersebut berarti bahwa Korea telah memiliki kemampuan beradaptasi terhadap terkonogi, bisnis yang agile dan teknologi informasi yang teintegrasi dengan baik.
ITU melaporkan bahwa pada 2017, Korea Selatan memasuki peringkat 2 pada ICT Development Index yang berarti bahwa kesiapan infrastruktur (access), intensitas (use), dan efisiensi penggunaan (skill) teknoloi informasi dan komunikasi di Korea Selatan sudah sangat baik dengan total skor 8.85 dari 10. Tidak hanya itu, pada Asian Digital Transformation Index, Korea Selatan juga menempati peringkat dua setelah Singapura dengan talenta digital di peringkat nomor satunya. Hasil survey yang dilakukan The Economist ini, terkonfirmasi bahwa pelaku bisnis di Korea Selatan tidak merasakan kesulitan untuk menemukan profesional di bidang teknologi untuk menjalankan bisnisnya, termasuk advanced digital skill.
Tidak heran jika kemudian Republic of Korea ini dijuluki dengan “ubiquitous connectivity” lantaran kemudahan dalam mengakses jaringan internet di berbagai wilayah. Transaksi digital sebagai contohnya bahkan sudah dilakukan hampir di seluruh pertokoan di Korea Selatan. Banyak pula perusahaan elektronik terkenal dunia lahir dari negara ini, sebut saja Samsung, LG, SK, dan KT yang telah menyumbang pertumbuhan ekonomi digital Korea. Pada 2019, Korea telah meluncurkan jaringan 5G komersial untuk publik dan telah memiliki hampir satu juta pengguna.
Lalu apa kuncinya hingga Korea Selatan bisa menjadi negara dengan konektivitas tercepat ini? Semuanya berawal dari ambisi pemerintahan Korea untuk mempercepat transformasi digital menuju ekonomi digital. Menurut Dr Kim dalam ITUNews, terdapat tiga factor utama yang menjadi dasar pertumbuhan ekonomi digital Korea, yaitu sistem pendidikan yang canggih, karakteristik budaya, dan visi pemerintah terkait ICT.
- “wifi, papan tulis elektronik, VR, notebooks, tablet, digital textbooks… digunakan oleh setiap individu, dalam tim dan dalam ruang kelas”—Professor Jeong Rang Kim. Ya, benar! Sistem pendidikan tradisional seperti pelajaran Math dan Science tetap diajarkan di sekolah sebagai syarat utama dari sebagian besar pekerjaan teknis dalam ekonomi digital, namun metode pengajaran tidak dilakukan secara tradisional. Setiap sekolah terintegrasi dengan sistem TIK untuk mendorong “21st century learner”. Soft skill yang dibutuhkan oleh talenta digital juga diajarkan di sekolah-sekolah, seperti critical thinking and problem solving, kolaborasi, pendidikan karakter, kemampuan komunikasi, dan computational thinking.
- “pali-pali” yang berarto cepat dan lebih cepat lagi adalah salah satu karakteristik budaya Korea yang juga digunakan pemerintah dalam mempercepat perluasan koneksi internet di Korea Selatan. Dari pada berkata ‘we need to consider some things’, para pemimpinnya lebih senang berkata ‘let’s do it now, and if some problems happen after that, we will fix it”. Budaya ini yang kemudian membuat akses internet bahkan bisa sampai di area pedesaan dan membuat korea menjadi kompetitor yang agile dalam ekonomi digital.
Sekitar 5 % dari GDP korea diperuntukan untuk R&D atau sekitar 91 juta dolar untuk mempersiapkan revolusi industri 4.0 melalui teknologi smart city dan jaringan 5G. Smart city pertama kali dikembangkan di Busan Metropolitan City sebagai kota terpadat kedua di Korea. IoT dan arsitektur cloud dibangun di kota tersebut untuk membuat aktivitas ekonomi maupun keseharian lebih mudah. Korea juga memiliki visi sebagai negara yang akan memimpin pengembangan jaringan 5G, dan hal ini telah terwujud di 2019 dimana Korea menjadi salah satu negara yang telah meluncurkan jaringan 5G komersial untuk warga negaranya.