Masa Depan Pertanian Indonesia adalah Pertanian Digital

Lagi-lagi sektor pertanian membuktikan ketangguhannya. Ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2020 mencapai negatif 5,32% y-o-y, sektor pertanian merupakan satu dari sedikit sektor yang berhasil tumbuh positif.

Sektor pertanian berhasil tumbuh 2,19% y-o-y, bandingkan dengan sektor industri pengolahan yang mengalami minus 6,19% dan sektor perdagangan -7,57% pada periode yang sama. Sektor pertanian yang merupakan penyedia kebutuhan primer ini memang harus selalu menjadi fokus utama dari Indonesia. Akan tetapi, data dari FAO menunjukan bahwa 93% petani di Indonesia merupakan pertanian keluarga kecil yang tidak memanfaatkan berbagai peralatan modern serta belum menggunakan varietas benih yang berkualitas (FAO, 2018). Metode pertanian tradisional berteknologi rendah menyebabkan hasil panen yang stagnan, bahkan menurun (CompassList, 2020).

Dengan segala keterbatasannya, sektor pertanian tetap mampu tumbuh di masa krisis ini. Bagaimana jika petani Indonesia mengadopsi pertanian digital dimana proses pra-produksi, produksi dan panen sampai distribusi menggunakan teknologi digital? Hasilnya tentu akan luar biasa.

Model adopsi teknologi yang sederhanapun sudah mampu memberikan keuntungan bagi petani. Misalnya teknologi penerimaan informasi pertanian berbasis ponsel telah teruji menguntungkan bagi petani. Penelitian dari Fabregas et al. (2020) menunjukan bahwa petani di sub-Sahara Afrika dan India yang menerima informasi pertanian melalui ponsel mampu meningkatkan produktivitasnya hingga 4%. Selanjutnya petani yang mendapatkan informasi tersebut memiliki persentase 22% lebih tinggi untuk menggunakan input agrochemical sesuai rekomendasi, yang menghasilkan $10 setiap 1$ yang dikeluarkan.

Adopsi teknologi digital juga berkontribusi dalam tahap produksi. Penerapan teknologi digital pada tahap produksi contohnya adalah penggunaan drone, robot pertanian, remote sensor serta software manajemen pertanian. Adanya sensor di tanah dan air sangat membantu petani untuk mengumpulkan data yang selanjutnya memberikan informasi ke petani. Sehingga, petani mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanam tanaman yang boros air seperti padi atau tanaman yang tahan-kering seperti kacang-kacangan dan umbi-umbian (CompassList, 2020). Ada juga teknologi bernama dino weeding robot yang membantu penyiangan petani sayur dengan tingkat presisi yang sangat tinggi dan petani dapat menghemat waktunya (Trendov et al, 2019).

Pada tahap penjualan dan distribusi, teknologi digital berbasis e-commerce mampu memberikan harga yang lebih menarik dan menguntungkan bagi petani.  Sebab, peran dari e-commerce adalah menjual produk dari petani langsung kepada konsumen. Bahkan teknologi blockchain dapat diterapkan untuk mendeteksi produk pertanian yang berkualitas buruk, sehingga langsung dapat diambil tindak lanjutnya (Trendov et al, 2019).

Berikut adalah beberapa contoh startup di Indonesia yang memiliki teknologi digital yang dapat dimanfaatkan untuk membantu petani.

Startup IndonesiaTeknologi
8villagesDataHub Farming data platform, yang memiliki produk bernama LISA, jaringan informasi berbasis sms yang menyediakan informasi dan berita untuk petani yang berlangganan
Habibi GardenMemiliki teknologi IoT-precision farming yang menggunakan sensor untuk mendeteksi kelembaban, temperature dan tingkat nutrisi dalam tanah
TaniHubMemiliki e-commerce platform yang menjual produk petani langsung ke konsumen

Sumber: CompassList, 2020

Melihat sudah ada pihak yang mampu menyediakan teknologi digital bagi petani, maka langkah selanjutnya adalah memastikan petani mampu mengadopsi teknologi tersebut. Terdapat beberapa kondisi mendasar yang harus dipenuhi untuk mewujudkan pertanian digital. Kondisi tersebut meliputi adanya infrastruktur internet yang merata serta komitmen dan dukungan penuh pemerintah dari segi penyediaan informasi, teknologi, dan sumber daya manusia.

Pertama, koneksi internet merupakan modal mendasar dari pertanian digital. Nyatanya hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukan hanya 25,56% penduduk pedesaan yang menggunakan internet dalam tiga bulan terakhir, jauh tertinggal dibandingkan penduduk perkotaan yang mencapai 50,92%.  Padahal sektor pertanian sendiri hampir seluruhnya berada di kawasan perdesaan. Jika Indonesia ingin menerapkan pertanian digital, akses internet yang merata harus segera diwujudkan.

Kedua, harus ada dukungan berupa penyediaan informasi yang update mengenai teknologi digital bagi petani. Disini pemerintah dapat membangun database teknologi pertanian yang berbasis aplikasi. Database teknologi berfungsi untuk menghubungkan petani dengan para pemilik teknologi, peneliti atau akademisi yang juga memiliki inovasi di sektor pertanian. Selanjutnya, petani dapat langsung berhubungan dengan pemilik teknologi melalui aplikasi tersebut. Disinilah pentingnya peran dari pendamping atau pihak desa untuk membiasakan petani mengakses informasi tersebut.

Ketiga, pemerintah dapat memberikan dukungan berupa “toolkit pertanian digital”, meniru apa yang dilakukan Jepang untuk sektor UMKM. Japan’s Industrial Value Chain Initiative merupakan inisiatif yang menyediakan “Internet of Things kits” untuk UMKM dengan biaya $900 per kit, agar UMKM mengadopsi teknologi manufaktur digital (ADB dan Kemenkeu, 2020). Bukan tidak mungkin hal tersebut turut dilakukan untuk sektor pertanian di Indonesia dengan beberapa modifikasi. Apalagi sudah ada startup pertanian digital di Indonesia yang dapat diajak untuk bekerjasama untuk menyediakan toolkit tersebut. Prasyarat utamanya adalah Identifikasi dan lakukan pemetaan kebutuhan agar tidak terjadi mismatch antara teknologi digital dengan kebutuhan petani, serta bagaimana agar petani tidak terbebani dengan harga dari teknologi tersebut.

Keempat, ketika petani telah memiliki toolkit pertanian digital, maka tugas selanjutnya adalah memastikan petani mampu menggunakan toolkit tersebut. Data dari FAO (2018) menunjukan bahwa rata-rata lama pendidikan dari kepala rumah tangga adalah 6 tahun. Tentunya hal ini akan menjadi tantangan untuk mewujudkan pertanian digital di Indonesia, namun bukan berarti tidak mungkin. Nantinya sosialisasi dan pendampingan turut memainkan peranan penting bagi adopsi teknologi pertanian digital. Jangan lupakan peran dari generasi muda. Generasi muda sekarang sudah lebih “melek” teknologi. Jika generasi muda ini menjadi petani yang menerapkan pertanian digital, maka petani Indonesia tentu akan semakin jaya. Dukungan dan adanya insentif untuk kembali ke desa dapat mewujudkan hal tersebut, apalagi pandemi Covid-19 turut memaksa para perantau kembali ke kampungnya.

Sejak dahulu kita semua telah melihat bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang kaya dengan sumber daya alamnya. Sudah saatnya Indonesia kembali ke muruahnya sebagai negara pertanian. Negara pertanian tersebut bukan pertanian biasa, namun pertanian yang berbasis pada teknologi dan inovasi digital. Mau dan harus mau, pertanian digital merupakan masa depan Indonesia dan harus disiapkan sejak sekarang.

*Artikel ini meraih juara 3 dalam lomba Agri writing competition 2020 yang diadakan oleh Republika dan Kementerian Pertanian

*Artikel ini juga tayang dalam kanal gagasan sariagri, https://ugc.sariagri.id/12/masa-depan-pertanian-indonesia-adalah-pertanian-digital?

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *