Melindungi Pekerja Rentan di Masa (dan Pasca) Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) telah mengguncang dunia. Berbagai negara kini tengah fokus tidak hanya pada masalah kesehatan warganya, tetapi juga pada dampak sosial ekonomi akibat pandemi ini. Sampai 16 April 2020, total ada 2.088.861 orang yang terjangkit virus corona dan 134.755 orang di antaranya meninggal dunia. Secara sosial-ekonomi, dampak global akibat pandemi ini akan membuat 25 juta pekerja di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau dipotong upahnya.

Pada konteks di Indonesia, pandemi Covid-19 telah memperdalam dan memperluas jumlah pekerja rentan yang kondisi hidupnya tidak menentu dan jauh dari kata “layak”. Sejak diterapkannya kebijakan social distancing (atau physical distancing) pada 15 Maret 2020, terjadi penurunan ekonomi secara drastis. Aktivitas ekonomi sehari-hari menjadi banyak yang terhenti, sehingga membuat proses produksi, distribusi, dan konsumsi tersendat. Industri manufaktur, perdagangan, dan jasa akhirnya banyak yang berhenti beroperasi. Permasalahan semakin kompleks ketika banyak perusahaan yang mem-PHK dan merumahkan pekerjanya tanpa memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada minggu kedua bulan April 2020 memperlihatkan adanya 2,8 juta pekerja yang di-PHK dan dirumahkan sebagai imbas dari Covid-19. Mereka yang di-PHK dan dirumahkan ini akan menambah jumlah pekerja rentan di Indonesia yang sebagian besar menggantungkan hidupnya di sektor informal. Berdasarkan data BPS pada tahun 2019 tercatat pekerja informal di Indonesia sebanyak 74,08 juta orang (57,27 persen). Mereka merupakan kelompok yang paling berisiko menerima dampak krisis karena pendapatan rata-rata mereka hanya dikisaran USD 100-200 per bulan dan tidak memiliki perlindungan sosial hingga kesehatan. Dalam perspektif ekonomi-politik, para pekerja informal ini adalah bagian dari cadangan pekerja atau surplus populasi relatif.

Dampak pandemi Covid-19 bagi pekerja rentan menjadi fokus penelitian dari Forbil Institute dan IGPA (Institute Governance and Public Affairs) MAP UGM dengan lokus di DIY. Provinsi DIY dipilih sebagai contoh kasus rapid appraisal, didasarkan atas dua pertimbangan: Pertama, DIY memiliki variasi wilayah yang bercorak desa-kota; kedua, sektor ekonomi DIY ditopang oleh sektor jasa khususnya pariwisata dan pendidikan yang sangat terdampak pasca Covid-19. Sektor jasa ini berdasarkan data dari ILO, merupakan sektor yang paling terdampak oleh krisis akibat Covid-19.

Untuk membaca hasil penelitian antara Forbil Institute dan IGPA MAP Fisipol UGM, silahkan download di bawah ini:

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *