ASEAN merupakan salah satu wilayah emerging economies yang sukses dalam menerapkan export-led development melalui peran dari foreign direct investment (OECD, 2018). Salah satu aspek yang perlu diperhatikan di ASEAN adalah peran dari ekonomi digital. Ekonomi digital di wilayah ASEAN tumbuh pesat, didorong olah penggunaan smartphone, internet dan bisnis berbasis digital. Di tahun 2018, ekonomi internet di ASEAN diestimasi mencapai $50 milliar atau 2 persen dari total PDB Asean. Dalam laporan ASEAN Investment report 2018, Di tahun 2025 peran dari ekonomi digital diperkirakan meningkat hingga $200 miliar atau 6 persen dari PDB.
Dampak dari kehadiran digitalisasi ini tidak sedikit. Ekonomi digital menciptakan berbagai peluang untuk meningkatkan efisiensi bisnis, produktivitas, memperlebar akses ke pasar dan menfasilitasi partisipasi dalam rantai nilai produksi. Dari segi online retailers, Alibaba dan Zalora tumbuh pesat tanpa membutuhkan toko retail fisik. Bagaimana kondisi terkini dari investasi di sektor ekonomi digital? Berikut adalah definisi dari investasi di sektor ekonomi digital:
Greenfield FDI project di bidang ICT meliputi investasi di bidang:
Manufaktur komputer | Software untuk cybersecurity |
Teknologi komputer | Software it |
Aplikasi e-commerce | Data processing, |
Produk elektronik dan optik | Data analytics, |
Computer games | Aktitivas retail non-toko (catalogue and mail-order houses) |
Jasa dan jaringan telekomunikasi | Web portals |
Jasa IT | Web hosting |
Software untuk media digital yang interaktif |
ASEAN: ICT Greenfield Investment, 2010-2017 (Miliar Dollar; Jumlah Project)
Data diatas menunjukan bahwa greenfield project di ASEAN memiliki tren yang meningkat, walaupun sempat menurun di tahu 2015 dan 2017. Sektor yang mendominasi dari data diatas adalah sektor manufaktur hardware dan optik (ASEAN, 2018). Perlu diperhatikan bahwa investasi non-manufaktur sektor ICT turut meningkat dari $2,8 miliiar di 2010 menjadi $3,9 miliiar di tahun 2017. Share investasi sektor tersebut turut meningkat dari 24 persen di tahun 2003-2007 menjadi 51 persen di tahun 2013-2017.
Investasi di sektor digital dan teknologi tentu dapat memberikan multiplier positif bagi suatu negara, sehingga wajar jika negara-negara di ASEAN saling memperebutkan investasi tersebut. Selama tahun 2016-2017, investasi ekonomi digital berasal dari Samsung dan LG dengan nilai investasi masing-masing sebesar $2.5 miliar dollar dan $1,5 milliar dollar di Vietnam. Vietnam, Singapura dan Malaysia merupakan tujuan utama dari greenfield investment ICT pada kurun waktu 2013 dan 2017. Dari peringkat ease of doing digital business, Indonesia juga mendapat peringkat terakhir. Hal ini tentu menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk menarik investasi di sektor digital. Lantas, “Kue” apa yang harus dipersiapkan Pemerintah Indonesia untuk mengundang investor berbasis ICT? Indonesia dapat belajar dari Singapura. Menurut Economic National Development Board, Singapura mampu menarik berbagai raksasa teknologi karena empat faktor penting yang mempengaruhi hal tersebut.
Pertama, adanya kultur inovasi kelas dunia. Singapura merupakan pusat penemuan dan inovasi dan hal tersebut berperan penting dalam iklim bisnis di Singapura. Data dari Global Innovation Index di tahun 2017 menempatkan Singapura sebagai negara paling inovatif di Asia, sehingga perusahaan Amazon dan IBM menggunakan Singapura sebagai pilot project sebelum proyek baru mereka diadaptasi di tingkat global. Kedua, Singapura memiliki infrastruktur IT yang modern dan cepat. Di Singapura, pelaku bisnis memiliki akses instan pada salah satu infrastruktur IT tercanggih di dunia. Data dari The Economist Intelligence Unit menunjukan bahwa Singapura berada di peringkat pertama pada bidang infrastruktur digital. Para pelaku bisnis dapat segera menguji produk baru mereka ketika telah terkoneksi dengan jaringan WiFi di Singapura.
Di faktor ketiga, Singapura memiliki perlindungan kekayaan intelektual yang luar biasa. Bagi perusahaan teknologi, tidak ada yang lebih penting dari kekayaan intelektual. Di Asia sendiri, telah banyak perusahaan oportunis yang mencuri atau memanfaatkan kekayaan intelektual perusahaan lain untuk meraih keuntungan dalam waktu yang cepat. Namun, hal tersebut berbeda di Singapura. Perlindugan kekayaan intelektual di Singapura sangat luar biasa dan memastikan bahwa investasi penelitian dan pengembangan dari perusahaan akan terlindungi. Faktor keempat adalah tersedianya tenaga ahli. Singapura memiliki berbagai talenta yang luar biasa di bidang teknologi. Ranking dari Global Talent Competitiveness Index menempatkan Singapura di peringkat kedua dalam menarik talenta ahli teknologi dari berbagai dunia. Penggunaan bahasa inggris turut mempermudah komunikasi dari berbagai talenta di seluruh dunia di Singapura. Keempat faktor tersebut berkontribusi dalam menarik berbagai perusahaan berteknologi canggih maupun para ahli untuk datang ke Singapura.
Keempat faktor tersebut tentu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Kebijakan berbasis inovasi, pembangunan infrastruktur IT super modern, perlindungan kekayaan intelektual dan tersedianya tenaga kerja ahli berbasis IT merupakan “kue-kue” untuk menarik investasi berbasis teknologi.