Pengembangan Kebijakan Pertanian Jangka Panjang: Revitalisasi Peternakan

Pembangunan yang terjadi secara massif dan cepat saat ini secara langsung juga mempengaruhi kondisi pertanian dan peternakan di Indonesia. Salah satunya adalah dampak yang dialami masyarakat pedesaan. Pembangunan massif yang terjadi khususnya di perkotaan membuat masyarakat desa lebih memilih untuk meninggalkan kehidupan pedesaan dan fokus dengan kehidupan perkotaan. Data dari BPS menunjukkan, antara 2003 dan 2013, Indonesia kehilangan 5,1 juta petani (dan peternak). Angkanya turun drastis menyentuh 26 juta. Berdasarkan data tersebut, Indonesia diperkirakan akan kehilangan seluruh petani, termasuk peternak, pada tahun 2063.[1]

Secara bersamaan, tidak banyak anak muda yang saat ini tertarik menjadi petani. Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan, hanya 23% dari 14,2 juta anak muda usia 15-24 tahun tertarik untuk bekerja di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Selain karena pembangunan di pusat-pusat kota yang massif, perbedaan jumlah pendapatan di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan juga terlampau jauh dari bidang-bidang lainnya. Sebagai contoh, pendapatan harian petani kurang lebih adalah Rp 55.503, sedangkan pendapatan harian buruh konstruksi adalah Rp 89.737. Angka ini jauh di bawah jumlah pendapatan minimum di Jakarta, yaitu Rp 171.054.[2]

Terbatasnya keterlibatan masyarakat, khususnya anak muda, dalam bidang peternakan dikhawatirkan akan terus menggantungkan kebutuhan produk hasil peternakan Indonesia terhadap impor. Padahal, fluktuasi harga produk peternakan impor seringkali terjadi, terutama pada saat pandemic COVID-19 berlangsung.  Food and Agriculture Organisation mencatat, terjadi fluktuasi harga produk peternakan global. Untuk produk sapi dan domba, terjadi kenaikan harga antara Maret hingga Juni 2020, namun tren tersebut mulai mengalami penurunan pada periode Juli dan Agustus 2020. Di sisi lain, produk ayam juga mengalami fluktuasi harga, namun dengan cenderung naik. Pada Januari hingga Juni 2020, harga ayam tercatat terus menurun. Namun, sejak Juli 2020, harga ayam terus mengalami kenaikan. [3]

Perubahan harga produk hasil peternakan yang tidak menentu juga mempengaruhi industri-industri yang bergantung pada hasil peternakan. Salah satunya adalah produk susu. Jauh sebelum terjadi pandemi COVID-19, pada tahun 2018, Dewan Persusuan Nasional mengatakan bahwa Indonesia sangat bergantung terhadap produk susu impor. Kurang lebih 90% dari pemenuhan kebutuhan susu segar Indonesia dipenuhi melalui impor. Saat pandemi, FAO mencatat adanya kenaikan indeks harga susu sebesar 3,5% di bulan Juli 2020.[4]

Sebagai respons terhadap berbagai isu sektor peternakan di atas, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah penting. Pertama, mendukung pertanian berbasis teknologi. Tumbuhnya peternakan berbasis teknologi akan menarik anak muda untuk turut berpartisipasi pada sektor peternakan Indonesia. Apalagi, inovasi teknologi merupakan isu hangat yang digemari anak muda, serta merupakan salah satu added value yang dapat menaikkan penghasilan harian peternak di desa. Dukungan pemerintah dapat berupa dorongan terhadap investasi teknologi inovasi di bidang peternakan, serta melakukan training kewirausahaan peternakan berbasis teknologi terhadap masyarakat desa, khususnya anak muda. Menurut Asian Development Bank, investasi untuk memodernisasi sistem pangan merupakan salah satu jalan keluar yang tepat untuk menghadapi masalah yang ada.[5]

Kedua, pemerintah perlu memberikan dukungan khusus terhadap industri pengolahan susu dalam negeri, untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Salah satu kebijakan yang sudah ada adalah diberikannya insentif berupa tax allowance untuk mengurangi pajak penghasilan industri pengolahan susu. Hal ini dilakukan karena industri pengolahan susu ditetapkan sebagai industri prioritas oleh Kementerian Perindustrian. Selain kebijakan yang sudah ada tersebut, pemerintah juga perlu memastikan untuk mendukung start-up pengolahan susu dalam negeri. Hal ini penting untuk memastikan bahwa industri pengolahan susu tidak hanya dikelola oleh perusahaan besar. Sebagai contoh, Sebagian besar industri pengolahan susu dikelola oleh Greenfields Indonesia, yang merupakan perusahaan yang berasal dari Australia. Dukungan pemerintah terhadap start-up yang dibangun dari Indonesia akan terus mendorong Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.


[1] Iswara, M.A. “A Land without Farmers,” The Jakarta Post (online), <https://www.thejakartapost.com/longform/2020/08/13/a-land-without-farmers-indonesias-agricultural-conundrum.html >, accessed on September 25, 2020.

[2] ibid

[3] FAO, International Meat Price Indices (online), <http://www.fao.org/fileadmin/templates/est/COMM_MARKETS_MONITORING/Meat/Documents/Meat_Prices_table.pdf>, accessed on September 25, 2020.

[4] Citradi, T. “Harga Pangan Naik, Ekonomi Global Bangkit?” CNBC Indonesia (online), <https://www.cnbcindonesia.com/news/20200807132100-4-178216/harga-pangan-naik-ekonomi-global-bangkit>, accessed on September 25, 2020.

[5] Iswara, M.A. “A Land without Farmers,” The Jakarta Post (online), <https://www.thejakartapost.com/longform/2020/08/13/a-land-without-farmers-indonesias-agricultural-conundrum.html >, accessed on September 25, 2020.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *