Pandemi COVID-19 telah menginfeksi lebih dari jutaan manusia. Berhentinya aktivitas ekonomi sebagai dampak dari pandemi tersebut menyebabkan beberapa negara masuk dalam jurang resesi. Akibatnya, COVID-19 turut berdampak pada sistem perpajakan dunia.
Setidaknya, Gaspar et al., (2020) berpendapat COVID-19 akan turut merubah kebijakan perpajakan dalam tiga hal. Pertama, pajak memainkan peranan penting pada tahap krisis untuk menjaga ketersediaan akses universal kebutuhan pokok dan jasa melalui langkah-langkah “lifeline”.
Kedua, ketika perekonomian dunia mulai pulih, pajak turut memiliki peran. Negara berkembang diprediksi akan mengalami pengurangan rata-rata pajak terhadap GDP secara signifikan di tahun 2020 ini (Gaspar et al., 2020). Hal ini memiliki implikasi jangka panjang, dimana setelah krisis global 2008-2009, dibutuhkan waktu 8 tahun agar pendapatan dari pajak dapat kembali ke level sebelum krisis (Gaspar et al., 2020). Ketiga, krisis ini menjadi momentum perbaikan pada hal-hal fundamental untuk mereformasi dan membangun kapasitas kelembagaan bagi negara berpendapatan rendah.
Pada kasus Indonesia, COVID-19 menyebabkan peningkatan utang agar Indonesia mampu membiayai program pemulihan ekonomi nasional dan mencegah defisit yang semakin lebar akibat rendahnya penerimaan negara. Rendahnya penerimaan negara tercermin dari rasio penerimaan Indonesia terhadap PDB sebesar 14,6% dari PDB, setengah dari rata-rata negara berkembang pada tahun 2018. Pandemi COVID-19 menyebabkan kebutuhan Indonesia dan berbagai negara lainnya untuk berhutang, akan tetapi ada aspek yang perlu diperhatikan. Wardhani (2020) berargumen bahwa jangka waktu utang yang sangat lama menimbulkan beban bagi generasi selanjutnya, bahkan bisa menciptakan krisis utang jika tidak dikelola dengan baik di masa mendatang. Pelajaran penting dari Indonesia pada masa pandemi ini yang dapat diterapkan adalah kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan pajak, sehingga biaya pemulihan ekonomi tidak sepenuhnya bergantung kepada hutang di masa mendatang.