Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor non-migas nomor dua setelah batu bara yang berhasil berkontribusi hingga USD 18 miliar atau setara dengan 10% dari total pendapatan ekspor Indonesia (DJP 2019). Sebagai salah satu negara produsen sawit terbesar, Indonesia mampu menghasilkan sawit hingga 48,3 juta ton pada tahun 2020. Negara – negara besar seperti China (18%), India (16%), dan Uni Eropa (12%) menyerap hampir 50% dari ekspor minyak sawit Indonesia (United Nations 2021). Terdapat lima provinsi utama perkebunan kelapa sawit Indonesia, seperti Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat yang telah berkontribusi hingga 66% dari total produksi nasional dengan mencakup 61% dari luas lahan perkebunan kelapa sawit (Kementrian Pertanian 2018).
Kelapa sawit juga sangat terkenal pada keserbagunaannya yang luar biasa. Dalam konteks derivative products, minyak sawit dapat ditemui pada produk makanan sebagai minyak goreng ataupun makanan olahan (70%), kosmetik dan produk pembersih (9%) hingga biofuel (18%) (Oil World 2018). Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar juga turut memperkenalkan kebijakan baru tentang bahan bakar nabati biodiesel B20 dan biodisel B30 dengan harapan permintaan minyak sawit domestik akan berlipat ganda dalam waktu kurang dari 10 tahun (Khatiwada et al. 2018).
Perkebunan rakyat (smallholders) memainkan peran penting di sektor kelapa sawit ini. Petani sawit mampu men-supply hingga 38% produksi kelapa sawit dalam bentuk tandan buah segar (TBS) dan mampu meng-cover luasan lahan hingga hampir setengah (45%) dari luas lahan kelapa sawit Indonesia (Bakhtary et al. 2020). Luasan yang dibudidayakan oleh petani juga telah mengalami ekspansi besar-besaran dalam dua dekade terakhir, dari kurang dari 1,6 juta hektar menjadi 5,8 juta hektar. Kedepannya, luasan budidaya petani sawit diperkirakan akan terus meningkat dalam kurun waktu 9 tahun (Schoneveld et al. 2018). Di Indonesia sendiri, perkebunan rakyat dikelola oleh dua kelompok petani yaitu petani plasma (yang terikat kemitraan dengan perusahaan) dan petani swadaya (mandiri).
Petani swadaya (independent smallholders) adalah aktor yang paling rentan dan cukup menderita pada praktik budidaya kelapa sawit berkelanjutan. Hal ini dibuktikan dengan data BPS 2019, yang menunjukkan bahwa luas lahan kelapa sawit milik perkebunan rakyat yang didominasi oleh petani swadaya tidak jauh berbeda dengan luas lahan milik perkebunan swasta. Akan tetapi, produktivitas milik lahan perkebunan rakyat tertinggal hampir setengah persen (33%) dari produktivitas perkebunan swasta (66%). Hanya sedikit dari petani swadaya yang mendapatkan akses ke informasi good agriculture practice (GAP) pada pendirian kebun, pengelolaan tanah, hingga perawatan kanopi dari gulma (Bakhtary et al. 2021). Mereka sangat kesulitan memperoleh akses dan dukungan teknis budidaya seperti keterbatasan akses input produksi (bibit bersertifikat maupun pupuk organik).