Inovasi Teknologi: Solusi Pengembangan Sektor Pangan Indonesia

Pada sektor hilir, industri makanan dan minuman telah mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, baik melalui peningkatan investasi, penyerapan tenaga kerja, dan capaian nilai ekspor. Data Kementerian Perindustrian pada 2019 mencatat nilai ekspor produk makanan dan minuman sebagai ekspor terbesar dalam sektor manufaktur. Nilai ekspor industri ini mencapai USD 27,28 miliar. Di sektor hilir, produk hasil pertanian/peternakan/perikanan menjadi penopang bahan baku industri pangan Indonesia. Ia juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat Indonesia.

Pentingnya pangan dalam pembangunan Indonesia tidak menjamin sektor ini terbebas dari masalah. Mulai dari hulu hingga hilir, sektor pangan di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala yang harus diselesaikan. Di sektor hulu, rata-rata kepemilikan lahan pertanian oleh setiap petani di Indonesia di bawah 1 hektar. Hal tersebut tentu berpengaruh pada produktivitas dan efisiensi produksi pada usaha lahan pertanian Indonesia. Tantangan lainnya seperti kualitas benih local yang belum baik, mahalnya harga pupuk, dan minimnya riset serta inovasi dan penggunaan teknologi. Terbatasnya teknologi pasca panen membuat tingkat losses produk pertanian tinggi. Kualitas produk pertanian rawan terganggu karena sebagian proses pasca panen yang masih manual. Penerapan teknologi tradisional di sektor peternakan juga berakibat pada inefisiensi proses pembiakan dan pembesaran ternak

Di sektor hilir, sebagian besar (lebih dari 70 persen) bahan baku industri pangan harus bergantung pada impor karena terbatasnya kapasitas produksi sektor hulu. Bahan baku gula untuk skala industri masih harus impor 100 persen, kedelai masih impor sekitar 70 persen, susu harus impor 80 persen, dan garam 70 persen. Inovasi teknologi di sektor hilir juga masih minim, sehingga seringkali berdampak pada inefisiensi produksi, terbatasnya variasi produk pangan yang dihasilkan, dan rendahnya daya saing produk yang dihasilkan. Selain itu, sektor pangan juga masih bertumpu pada UMKM.

Di era digital dan revolusi industri 4.0, industri makanan dan minuman Indonesia menjadi salah satu sektor utama yang masuk dalam prioritas pengembangan. Hal ini dapat menunjukkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan inovasi penggunaan teknologi di sektor ini. Salah satu negara yang memanfaatkan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing industri pangannya adalah Jepang. Jepang dikenal mampu menghasilkan produk-produk pangan yang berkualitas dan inovatif. Produk pangan Jepang seringkali menarik perhatian konsumen karena packaging yang menarik, inovatif, dan berkualitas, serta kualitas dari produknya sendiri yang seringkali mempertimbangkan aspek estetik dan praktis. Selain Jepang, Thailand juga telah mengembangkan sektor pertaniannya melalui intervensi teknologi modern. Hampir 100 persen petani di Thailand telah menggunakan mekanisasi dalam produksi pertaniannya, dari penyebaran sampai pemanenan.

Intervensi teknologi, baik digital maupun non-digital penting dilakukan pada sektor hulu maupun hilir untuk meningkatkan daya saing sektor pangan Indonesia. Pemanfaatan IoT atau AI sebagai teknologi digital dapat membantu petani dalam mengontrol suhu, cahaya, kelembaban tanah, pemberian pupuk, dsb. sehingga produksi hasil pertanian dapat lebih maksimal dan berkualitas. Teknologi inseminasi buatan juga dapat membantu peternak sapi dalam mengawinkan ternaknya dengan bantuan alat sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas. Dalam sektor hilir, dukungan innovation center sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan teknologi saat ini dan melakukan update teknologi untuk menyesuaikan produk industri makanan dan minuman agar lebih inovatif dan berdaya saing. Impor maupun inovasi teknologi juga diperlukan untuk mendukung penciptaan industri sektor hulu agar mampu mensubstitusi impor bahan baku industri makanan dan minuman Indonesia.

Partner Kami