Dampak Penerapan Substitusi Impor di Indonesia

Cali (2017) dalam papernya yang berjudul Trade Protectionism and Indonesian Policy for Intermediate Industry  membahas mengenai peran dari proteksi perdagangan untuk membangun industri barang setengah jadi di Indonesia. Pembangunan industri barang setengah jadi di Indonesia masih sulit dipahami sampai  sekarang (Cali, 2017). Industri barang setengah jadi Indonesia masih tidak cukup kompetitif di tingkat  internasional dan relatif berkontribusi kecil terhadap ekspor (Cali, 2017).  Salah satu strategi yang diterapkan untuk membangun manufaktur di sektor ini adalah substitusi impor.

Strategi substitusi impor yang diterapkan di Indonesia  memiliki berbagai bentuk, namun prinsip utama yang diterapkan adalah prinsip proteksi pada sektor domestik dari impor melalui tarif maupun non-tarif, bahkan investasi asing. Hal ini diterapkan dan didukung oleh argumen infant industry. Perlindungan produsen domestik dari kompetisi membantu perusahaan domestik untuk recover investasi biaya tetap (fixed cost) di tahap awal sampai akhirnya produsen tersebut menjadi kompetitif dan proteksi tidak dibutuhkan lagi (Cali, 2017). Beberapa negara di Amerika Latin pada tahun 1950-an dan 1960-an merupakan studi kasus penerapan kebijakan substitusi impor dengan temuan campuran  yang dianggap sukses dalam menstimulasi industrialisasi (Cali, 2017). Temuan keberhasilan mengenai strategi substitusi impor menunjukan bahwa argumen infant industry perlu dilakukan, namun di sisi lain proteksi yang terlalu tinggi dapat menghasilkan penciptaan excessive long term rent untuk produsen domestik. Sebagai tambahan, industri yang menggunakan input dari sektor yang diproteksi dapat terkena dampak negatif jika sektor yang diproteksi tersebut kurang kompetitif di pasar internasional (Cali, 2017).

Tarif impor Indonesia memang relatif rendah setelah pengurangan yang cukup substansial pada tahun 1990-an dan 2000-an, namun Pemerintah mulai meningkatkan impor tarif tersebut sejak tahun 2012, termasuk tarif untuk barang setengah jadi dan barang konsumsi (Bank Dunia, 2015). Indonesia juga meningkatkan proteksi pada sektor barang setengah jadi, sejalan dengan sektor lainnya melalui hambatan non tarif seperti kuota, lisensi impor dan monopoli impor (Cali, 2017). Penerapan proteksi pada industri barang setengah jadi tentu mempengaruhi kinerja dari perusahaan.

Dengan menggunakan data dari Statistik Industri dari tahun 1990 dan tarif proteksi impor di tingkat 5 digit ISIC, Cali (2017) mencoba menemukan hubungan antara kinerja dari perusahaan dengan tarif proteksi tersebut. Estimasi Cali (2017) menunjukan bahwa tarif proteksi berasosiasi dengan kinerja output, penyerapan tenaga kerja, produktivitas dan ekspor yang lebih buruk. Hasil tersebut merepresentasikan seluruh industri barang setengah jadi serta sektor industri berdasar Broad Economic Category (BEC) dengan pengecualian industri pengolahan makanan dan minuman yang tidak menampilkan korelasi yang signifikan (Cali, 2017). Peningkatan tarif sebesar 10 persen berasosiasi dengan penurunan output sebesar 1 persen di seluruh industri barang setengah jadi, dengan tingkat penurunan tertinggi sebesar 2 persen di industri parts and accessories of capital goods dan 1,5 persen untuk processed industrial supplies and auto-parts (Cali, 2017). Elastisitas tersebut menunjukan magnitude yang mirip dan lebih kecil untuk indikator kinerja ekspor, namun tetap signifikan untuk indikator tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja (Cali, 2017). Hasil ini juga lebih besar pada periode setelah krisis (setelah 1997) yang menunjukan pentingnya penerapan tarif bagi kinerja perusahaan yang memproduksi barang setengah jadi pada periode tersebut. Bahkan analisis tambahan dengan menggunakan data dari Statistik Industri menunjukan bahwa tarif impor memiliki hubungan yang negatif dengan kinerja dari sektor barang setengah jadi yang menggunakan input yang menjadi subjek dari tarif tersebut. Secara khusus, peningkatkan rata-rata tarif input yang digunakan oleh sektor barang setengah jadi mengurangi output di sektor tersebut hampir sebesar 3 persen (dengan pengurangan 5 persen untuk sektor parts and accessories for capital goods) (Cali, 2017). Hasil ini turut merepresentasikan dampak dari impor tarif terhaap kinerja dari seluruh industri di sektor BEC. Efek negatif ini konsisten dengan temuan penelitian di Indonesia (Amiti dan Konings, 2007; Rahardja dan Varela, 2015).

Partner Kami