Substitusi Impor Industri Petrokimia Taiwan

Bagian ini membahas bagaimana kebijakan substitusi impor mendukung pertumbuhan berbasis ekspor di industri petrokimia Taiwan. Wan-Wen Chu (1994) dalam artikel berjudul Import Substitution and Export-Led Growth: A Study of Taiwan’s Petrochemical Industry menemukan bahwa untuk meningkatkan produksi di tingkat hulu, substitusi impor merupakan supplemen untuk mewujudkan pertumbuhan berbasis ekspor. Berlawanan dengan hipotesis neoklasik, pemerintah Taiwan memiliki peran penting dalam tahap awal pengembangan industri petrokimia di tahun 1970-an dan terus memberikan bantuan dan subsidi hingga tahun 1994. Dapat dikatakan bahwa strategi tersebut sukses karena pertumbuhan di sektor hulu berhasil dipertahankan (Chu, 1994).

Chu (1994) menemukan bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam mewujudkan pembangunan industri material petrokimia. Pertumbuhan dari ekspor di sektor hilir seperti produk plastik, tekstil dan aparrel membantu mewujudkan backward linkage di Taiwan(Chu, 1994). Pemerintah mengambil peran untuk mengembangkan industri hulu dan berbagai bagian dari industri padat modal, sebagai contoh naphtha cracking ketika investor swasta belum mau turun sendirian ke sektor tersebut. Industri padat modal  yang akan dibahas secara lebih mendalam adalah industri petrokimia.

Sektor petrokimia merupakan sektor industri padat modal. Pengembangan industri tersebut di tahap awal membutuhkan strategi yang harus diperhitungkan secara matang. Pemerintah masuk dan melakukan berbagai intervensi untuk membangun industri petrokimia tersebut. Pertama-tama, Chu (1994) mengkategorikan tahap produksi industri petrokimia yang saling berhubungan sebagai berikut:

Tabel  Produksi Petrokimia Taiwan

SektorProduksiInputOutput
INaphtha CrackerNapthaMaterial Petrokimia atau bahan baku
IIMaterial KimiaBahan BakuBahan Mentah untuk:
Plastik
Man-Made Fibers
Karet Sintesis
IIIHilirOutput dari Sektor IIProduk Plastik
Man-Made Fiber dan Tekstil
Produk Karet

Sumber: Chu (1994)

Fitur pembangunan utama dari sektor petrokimia yang saling terintegrasi secara vertikal dimulai dari pengembangan sektor hilir yang dibiayai dari pertumbuhan ekspor, selanjutnya membangun sektor I dan di tahap akhir adalah sektor II (Chu, 1994).

Pemerintah merupakan pihak yang menginisiasi proses pembangunan untuk sektor I dan II. Saat pemerintah memutuskan untuk membangun fasilitias naptha-cracking (sektor I) atau tepat sebelum mulai membangun fasilitas tersebut, pemerintah mengumpulkan kelompok kelompok investor atau perusahaan yang mau membangun pabrik sektor II untuk memproses material petrokimia yang pemerintah produksi (Chu, 1994). Kesuksesan dari pengembangan sektor II bergantung pada beberapa faktor, selain faktor yang berhubungan dengan iklim investasi, yaitu (1) memastikan pasokan input lokal tersedia dengan harga yang menguntungkan, (2) pasar lokal yang siap dan  (3) memastikan ketersediaan modal, lahan dan tenaga kerja tingkat manajerial (Chu, 1994).

Dari faktor (1) pemerintah menawarkan berbagai bantuan untuk memastikan hal-hal tersebut terjadi melalui pembangunan fasilitas input produksi dan memasok bahan mentah tersebut ke sektor II. Selanjutnya, harga dari bahan mentah tersebut menjadi instrumen kebijakan. Untuk faktor (2) pemerintah menggunakan kontrol perdagangan untuk memastikan bahwa impor produk sektor II dibatasi selama harga domestik rasional. Definisi harga rasonal merupakan harga internasional ditambah beberapa biaya Cost in Freight (CIF) (Chu, 1994). Pada saat yang bersamaan, ekspor produk sektor II tidak diizinkan sampai kebutuhan pasar domestik terpenuhi.

Mengenai faktor (3), pemerintah memberikan bantuan, seperti bantuan keuangan. Selanjutnya, beberapa top manajer dari pabrik sektor II datang atau ditarik dari Chinese Petroloeum Corporation (CPC) yang dimiliki pemerintah Tiongkok dan beroperasi di Taiwan. Pemerintah memiliki raksasa petrokimia, dengan produk berbasis minyak menjadi produk utamanya dibandingkan material petrokimia dan perusahaan tersebut menjadi tempat pelatihan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengoperasikan operasi sektor II (Chu, 1994).

Terlihat jelas bahwa pemerintah Taiwan memiliki peran sebagai entrepreneur, investor serta pihak yang mengatur pada tahap awal pembangunan. Instrumen-instrumen kebijakan lain yang turut diterapkan adalah kontrol perdagangan, alokasi kredit yang selektif, insentif pajak dan alokasi lahan (Chu, 1994). Saat seluruh industri belum terwujud, modal swasta lemah serta tidak adanya pihak swasta yang mau dan berani untuk mengambil alih proyek beserta menanggung resikonya, maka pemerintah menjadi pihak yang merencanakan proyek, membangun dan mengoperasikan naptha-cracker sendiri, mengatur operasi sektor II dan mengumpulkan investor modal dari pihak swasta untuk tugas tersebut (Chu, 1994). 

Pemerintah Taiwan mengontrol beberapa faktor vital di perekonomian (Zhu, 2006). Pemerintah memonopoli sektor listrik, gas, air, kereta api dan berbagai peralatan telekomunikasi. Tidak hanya itu, Pemerintah turut mengontrol industri hulu strategis seperti pengolahan minyak, petrokimia, baja dan berbagai besi mendasar, pembangunan kapal, mesin berat, peralatan transportasi dan pupuk (Zhu, 2006). Menurut Liu dan Huang (1993: 47) di tahun 1980-an modal dari pemerintah di berbagai industri mencapai 90 persen dari industri energi, 80 persen industri besi, 95 persen industri petrokimia dan 80 persen industri perkapalan.

Partner Kami