Ketahanan Pangan, Bukan Sekedar Cukup dan Murah
Meski belum masuk pada best performance, ketahanan pangan Indonesia sudah termasuk ke dalam good performance, menurut laporan The Economist. Kekuatan Indonesia ada pada program food safety net yang diluncurkan pemerintah untuk menjamin pemenuhan pangan di keluarga tidak mampu serta komitmen pemerintah dalam meningkatkan standar kecukupan nutrisi bagi wiap warganya, kedua indikator ini mendapatkan skor 100. Sayangnya meskipun komitmen pemerintah terhadap standar nutrisi dinilai telah sangat baik, namun skor Indonesia terhadap dietary diversity dinilai masih sangat rendah. Proporsi konsumsi makanan tidak bertepung (non-starchy food) terhadap total komsumsi di Indonesia masih sangat rendah, hanya 19 dari 100. Indonesia tertinggal -36,8% dari skor rata-rata dunia. Hal ini dapat berarti bahwa sebagian besar konsumsi masyarakat Indonesia masih sangat didominasi dengan makanan berkarbohidrat tinggi.
Dari besarnya konsumsi karbohidrat di Indonesia, sebagian besarnya hanya didominasi oleh nasi. Hasil riset yang dilakukan Purnasari dkk, di Yogyakarta saja, 99,2% konsumsi karbohidrat selama masa sebelum pandemi Covid dipenuhi dengan nasi (padi), sedangkan selama pandemi menurun menjadi 97,5%. Dalam hal ini, meskipun secara kebijakan pemerintah Indonesia telah dinilai baik dalam meningkatkan standar nutrisi bagi setiap warganya, namun dalam hal implementasi penganekaragaman pangan belum cukup untuk bisa mengubah pola konsumsi seimbang di masyarakat.
Program food estate meskipun masih berfokus pada tanaman pangan seperti padi dan singkong, namun kabarnya pemerintah juga akan mengembangkan tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hortikultura lainnya sebagai tanaman tumpang sari. Menurut Dirjen Tanaman Pangan, Kementan, Food estate pada tahap pertama akan dikembangkan di atas 30 ribu hektar lahan pertanian dengan komoditas padi, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain. Artinya, pemerintah tengah mengusahakan ketersediaan pangan bervariasi. Di hulu, budidaya tanaman non-starchy food juga harus menjadi perhatian, agar pada akhirnya konsumen mampu menjangkau pangan yang beragam baik dalam jumlah, kualitas, maupun harga.
Hal ini didukung oleh European Commission yang pada 2011 menerbitkan artikel terkait agricultural diversity. Menurut mereka, sistem pertanian yang terdiversifikasi akan meningkatkan ketahanan pangan dan pasokan pangan yang bervariatif, serta mendorong pola konsumsi sehat pada masyarakatnya. Apabila hal ini didukung dengan kebijakan strategis lainnya, maka tidak menutup kemungkinan akan membantu menyelesaikan persoalan malnutrisi, kekurangan mikronutrisi, dan dampak perubahan iklim terhadap pertanian.